FmD4FRX3FmXvDZXvGZT3FRFgNBP1w326w3z1NBMhNV5=
Your Ads Here
items

Hadist Hukum Asal Air adalah suci.







Hadits Kedua: Hukum Asal Air adalah suci.
2 ـ وَعَنْ أَبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم: «إنَّ 

المَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيءٌ». أَخْرَجَهُ الثلاَثَةُ، وَصَحَّحَه أَحْمَدُ.
“Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah bersabda,Sesungguhnya air adalah thahur tidaklah sesuatu menjadikan air tersebut najis.” Diriwayatkan oleh ats-Tsalatsah dan Ahmad menshahihkannya.

Penjelasan Hadits.
Hadits ini akan dijelaskan dalam beberapa sub bahasan:
Biografi Perawi Hadits
Perawi hadits ini adalah Abu Sa’id al-Khudri. Nama beliau adalah Sa’ad bin Sinan bin Malik al-Khazraji al-Anshari al-Khudri,ada yang menyatakan : Sa’ad bin Maalik bin Sinan . Nisbah kata “al-Khudri” berasal dari Khudrah salah satu perkampungan kaum Anshar, sebagaimana disebutkan di dalam al-Qamus.(Lihat Subul as-Salam 1/11)
Abi Sa’id lebih dikenal dengan nama aslinya adalah Sa’ad bin Malik bin Sinan. Ayahnya Malik bin Sinan syahid dalam peperangan Uhud, Ia seorang Khudri nasabnya bersambung dengan Khudrah bin Auf al-Harits bin al-Khazraj yang terkenal dengan julukan “Abjar”.
Ketika perang Uhud pecah ayahnya (malik) membawanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dan meminta agar anaknya diikutkan dalam peperangan. Pada waktu itu beliau masih berusia 13 tahun, namun ayahnya menyanjung kekuatan tubuh anaknya:” Dia bertulang besar  ya Rasulullah” tetapi, Rasulullah tetap menganggapnya masih kecil dan menyuruh membawanya pulang.
Beliau ikut perang bersama Nabi sebanyak 12 peprangan, yang pertama adalah perang khondaq pada tahun kelima, karena sebelum itu usia beliau belum baligh.  Beliau menghafal dari Nabi ilmu yang banyak dan menjadi ulama besar dikalangan para sahabat.
Abu Sa’id Al-Khudri adalah orang ke tujuh yang banyak meriwayatkan hadist dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Telah meriwayatkan 1.170 hadits. Orang orang pernah memintanya agar mengizinkan mereka menulis hadits hadits yang mereka dengar darinya. Ia menjawab “ Jangan sekali kali kalian menulisnya dan jangan kalian menjadikan sebagai bacaan, tetapi hapalkan sebagaimana aku menghapalnya”.
Abu Sa’id al-Khudri adalah salah seorang diantara para sahabat yang melakukan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam mereka berikrar tidak akan tergoyahkan oleh cercaan orang dalam memperjuangkan agama Allah Subhanahu wa ta’ala, mereka tergabung dalam kelompok Abu Dzarr al-Ghifari, Sahl bin Sa’ad, Ubadah bin ash Shamit dan Muhammad bin Maslamah.
Riwayatnya dari para sahabat lain banyak sekali namun sumber yang paling terkenal adalah bapaknya sendiri Malik bin Sinan, saudaranya seibu Qatadah bin an-Nu’man, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abu Musa al-Asy’ari, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Salam.
Sedangkan orang orang yang meriwayatkan hadits darinya adalah anaknya sendiri Aburahman, istrinya Zainab bin Ka’ab bin Ajrad, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abu Thufail, Nafi’ dan Ikrimah.
Abu sa’id membawa putranya Abdurahman ke tanah pemakaman Baqi, dan berpesan agar ia nanti dimakamkan di bagian jauh dari tempat itu. Katanya: “ Wahai anakku, apabila aku meninggal dunia kelak, kuburkanlah aku disana, Jangan engkau buat tenda untuk,nya jangan engkau mengiringi Jenazahku dengan membawa api, Jangan engkau tangisi aku dengan meratap-ratap, dan jangan memberitahukan seorangpun tentang diriku
Beliau meninggal tahun 74 H dan dimakamlan di al-baqi’.
(diambil dari Tahdzib at Tahdzib 3/49 dan Tambihul Afham Bi Syarhi Umdatul Ahkan, Syeikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin 1/ ).

Takhrij al-Hadits.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam as-Sunan (no. 66), at-Tirmidzi di dalam as-Sunan (no.66) dan beliau mengatakan: “hadits hasan.” Juga diriwayatkan oleh an-Nasa`i di as-Sunan (1/174), Ahmad di dalam al-Musnad (3/31), asy-Syafi’I di dalam kitab al-Umm (1/23), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 1/133, ad-Daraquthni di dalam as-Sunan (1/no. 10) di dalam as-Sunan, al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra (1/4, 257), Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 2199), Ibnul Jarud di dalam al-Muntaqa (no. 47) dan selainnya dari jalan Abu Usaamah dari al-Walied bin Katsir dari Muhammad bin Ka’ab dari Ubaidillah bin Abdillah bin Raafi’ bin Khodij dari Abu Sa’id al-Khudri – Radhiyallahu ‘anhu-
أَنَّهُ قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَ نَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةِ؟ –وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ فِيْهَا الحَيْضُ وَلَحْمُ الكِلاَبِ وَالنَّتْنُ- فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الماَءُ طَهُوْرٌ لاَيُنَجِّسُهُ شَيْءٌ.
 “Ditanyakan kepada Rasulullah: apakah kami boleh berwudhu dari sumur Budha`ah yaitu sebuah sumur yang di dalamnya dicampakkan kain pembalut haidh, daging anjing dan kotoran?” Maka beliau menjawab, Sesungguhnya air adalah thahur tidaklah sesuatu menjadikan air tersebut najis.”
Hadits dengan sanad ini memiliki kelemahan, yaitu adanya Ubaidillah bin Abdillah bin Raafi’. Sedangkan sisa perawinya tsiqaat termasuk perawi-perawi yang dipakai al-Bukhori dan Muslim dalam shahih keduanya.  
Ibnu Abi hatim dalam al-jarh wa ta’dil 2/321 menyebut nama Ubaidillah bin Abdillah bin Raafi’ ini dan diam tidak menyebutkan satu hukumpun. Sedangkan Ibnu al-Qathaan al-Faasi dalam Bayaan al-Wahm wal Ihaam  melemahkannya dan berkata: Perkara Ubaidillah ini apabila hadits ini dijelaskan maka jelas darinya kelemahan hadits bukan hasan. Hal itu karena berporos pada Abu Usamah dari Muhammad bin Ka’ab kemudian terjadi perbedaan atas Abu Usamah dalam perantara antara Muhammad bin Ka’ab dengan Abu Sa’id:
Sebagian menyatakan: Abdullah bin Abdillah bin Raafi’ bin Khadiij
Sebagian lainnya menyatakan: Ubaidillah bin Abdillah bin Raafi’ bin Khadiij
Hadits ini ada jalan lain dari riwayat ibnu Ishaaq dari Salith bin Ayyub dan diperselisihkan pada riwayat Ibnu Ishaaq ini tentang perantara antara Salith dengan Abu Sa’id:
Ada juga yang menyatakan: Ubaidillah bin Abdurrahman bin Raafi’
Sebagiannya menyatakan: Abdullah bin Abdurrahman bin Raafi’
Juga ada yang menyatakan:  Dari Abdurrahman bin Raafi’
Sehingga ada lima pendapat tentang perawi yang meriwayatkan langsung dari Abu Sa’id : Abdullah bin Abdillah bin Raafi’ , Ubaidillah bin Abdillah bin Raafi’, Abdullah bin Abdurrahman bin Raafi’, Ubaidillah bin Abdurrahman bin Raafi’ dan Abdurrahman bin Raafi’. Bagaimanapun adanya, maka dia seorang yang tidak terkenal keadaan dan orangnya. (lihat hlm (1059)).
Memang Ubaidillah bin Raafi’ dikatakan oleh ibnu Mandah : Majhul (tidak dikenal) (lihat Tahdzib at-tahdzib 7/36) dan disebutkan ibnu Hibaan dalam kitab ats-Tsiqaat.
Di dalam riwayat Nasaa-i dan Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain , sebagian rawi telah keliru mengatakan: “Ubaidullah bin Abdurrahman yang benar ialah ‘Ubaidullah bin Abdullah bin Raafi’i bin Khudaij .
Imam ibnu hajar menyatakan dalam kitab at-Taqrib (1/536) tentang Ubadillah ini dengan : Mastuur.
Oleh karena itu Bukhari dengan tegas mengatakan bahwa orang yang menamakannya ‘Ubaidullah bin Abdurrahman telah keliru sebagaimana telah diterangkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar di Tahdzibut Tahdzib (7/28). Meskipun demikian kedua orang rawi di atas, yaitu baik ‘Ubaidullah bin Abdullah atau ‘Ubaidullah bin Abdurrahman sama dla’if tidak dikenal atau majhul. 
Walaupun didalam sanadnya ada perawi yang majhul namun dengan adanya banyak riwayat pendukung (Syawahid) dari hadits Ibnu Abbas, Aisyah -sebagaimana dikatakan Tirmidziy-, Ibnu Abbas dan Sahl bin Sa’ad dan jalan periwayatan lainnya (mutaba’ah) menjadikan hadits ini naik menjadi shahih lighairihi.
Hadits ini dinilai Shahih oleh banyak ulama, diantaranya:
1.                   Imam Ahmad bin Hambal, beliau mengatakan, “Hadits sumur “Budha’ah” hadits yang shahih.” Penilaian Imam Ahmad tentang hadits ini dijelaskan dalam Ma’alim as-sunan al-Khathabi (1/74) dan Talkhish al-habir (1/13).
2.                    Yahya bin Ma’in, seperti dijelaskan dalam Talkhish al-Habir 1/13)
3.                   Abu Isa at-Tirmidzi dalam sunannya (1/101), beliau berkata: hadits hasan dan Abu Usamah telah menjadikan hadits ini bagus. Tidak ada seorangpun yang meriwayatkan hadits Abu Sa’id tentang sumur Budha’ah ini yang lebih bagus dari riwayat Abu Usamah. Hadits ini telah diriwayatkan dari beberapa jalan periwayatan dari Abu Sa’id dan dalam Bab ini (syawahid) ada hadits dari Ibnu Abbas dan ‘Aisyah.
4.                   Abu Muhammad Ali bin Hazm seperti dalam at-Talkhish 1/8
5.                   al-Hakim.
6.                   al-Baghawi di dalam Syarh as-Sunnah (2/61), beliau menyatakan: ini Hadits Hasan Shahih.
7.                   an-Nawawi di dalam al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab (1/127)
8.                   ibnu Taimiyah dalam majmu’ al-fatawa  (21/41), beliau menyatakan: Telah shahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada yang berkata kepada beliau: Engaku telah berwudhu dari sumur Budha’ah.
9.                   Ibnu al-Qayyim dalam tahdzib as-Sunan 1/68
10.                ibnu al-Mulaqqin dalam al-badrul Munir (2/51)
11.                asy-Syaikh al-Albani di dalam al-Irwa` (no. 14, 1/45) dan Shahih Abi dawud no. 59 (1/113) dan   Beliau menyatakan: namun hadits ini shahih dan otentik dengan sebab memiliki banyak jalan periwayatan dan penguat dari sahabat lainnya.
12.                Al-Hafizh menyebutkan di dalam at-Talkhish (1/13), “Ibnu Mundah mengomentari hadits Abu Sa’id ini dan berkata,“Sanadnya masyhur.” “
Demikian juga ada ulama yang menilai hadits ini lemah, diantaranya:
1.       Ad-Daraquthni. Imam an-Nawawi menyatakan dalam kitab al-Khulashah (1/65): at-tirmidzi berkata: Hasan. Dalam pada sebagian naskah : Hasan Shahih. Imam Ahmad bin Hambal berkata: Hadits Shahih dan juga ulama lainnya. Pendapat mereka ini didahulukan asta perndapat ad-Daraquthni yang menyatakan hadits ini tidak shahih.
2.       Al-Mundziri dalam kitab Mukhtashar as-Sunan 1/73-74)
3.       Ibnu al-jauzi dalam at-Tahqiq (no. 15).

Yang benar, hadits ini hadits shahih lighairihi karena banyaknya penguat dari beberapa sahabat lainnya, diantaranya:
a.       Hadits Sahl bin Sa’ad.
Tentang riwayat hadits Sahl bin Sa’ad ini, berkata ibnu al-Qathaan al-Faasi dalam Bayaan al-Wahm wal Ihaam : Sekarang kami sampaikan disini bahwa hadits ini memiliki penguada dengan sabad yang shahih dari riwayat Sahl bin Ba’ad.
Kemudian beliau menukil dari  kitab Qaasim bin Ashbagh, beliau berkata: telah menceritakan kepada kami ibnu Wadhaah, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Ali Abdushshomad bin Abi Sakinah al-halabi di kota Halab, beliau berkata: telah menceritakan kepada kami Abdulaziz bin Abi Hazim dari bapaknya dari Sahal bin Sa’ad, beliau berkata:
قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّكَ تَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةِ، وَفِيْهَا مَا يُنْجِي النَّاسُ وَالمْحَائِضُ وَالْخَبَثُ! فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمَاءُ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
Para Sahabat berkata: Wahai Rasulullah sungguh engkau berwudhu dari sumur Budha’ah dan sumur itu berisi kotoran manusia, kotoran haidh dan kotoran lainnya! Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Air itu tidak dinajisi sesuatu. (5/224)
Hadits ini juga dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdilmalik dalam Mustakhroj  ‘ala Sunan Abi Dawud seperti dijelaskan al-haafizh ibnu hajar dalam Talkhis al-Habir (1/14)
Hadits Sahal bin Saad Radhiyallahu ‘anhu ini hadits yang lemah namun dapat menjadi penguat hadits Abu Sa’id diatas.
b.       Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anhuma.
Hadits ini dikeluarkan oleh  Abu Ya’la dalam Musnadnya (8/203) dari al-Hamaani dari Syarik dari al-Muqdam bin Syuarih dari bapaknya dari ‘Aisyah dari  Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:
الْمَاءُ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
Air itu tidak dinajisi sesuatu
Hadits ini lemah, namun ada dalam riwayat Ahmad dalam musnadnya (6/172) dengan sanad yang shahih secara mauquf dari ‘Aisyah. Syeikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi dawud 1/114 : Telah shahih dari ‘Aisyah secara mauquf.
c.        Hadits ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma.
Hadits ini diriwayatkan Abdurazaq ash-Shan’ani dalam al-Mushannaf (no. 396) bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمَاءُ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
Air itu tidak dinajisi sesuatu
Dari jalan Abdurrazaq ini juga dikeluarkan oleh Ahmad dalam al-Musnad 1/384, Ibnul Jarud dalam al-Muntaqa no. 49 dan ath-Thabrani dalam al-Kabir no. 11714 dan al-Baihaqi dalam sunan al-Kubra 1/267.

Kesimpulan hukum hadits: Hadits ini Shahih dengan banyaknya penguat dari hadits shahabat lainnya.
Wallahu a’lam.

Faedah .
Ada istilah hadits lemah (dha’if), majhul dan shahih lighoirihi dalam takhrij hadis diatas, maka perlu penjelasan singkat tentang hal ini.
Hadits Dha’if.
Hadits dha’if atau dikenal dalam istilah kita sebagai hadits yang lemah adalah hadits yang tidak memenuhi kreteria hadits yang shahih dan hasan.

Sebab yang menjadikan hadits dihukumi sebagai hadits dho’if.
Bila melihat kepada alasan para ulama menghukum satu hadits sebagai hadits lemah didapatkan kembali kepada dua sebab:
Sebab pertama: sanadnya terputus.
Melihat kepada sebab pertama ini, maka hadits dihukumi lemah karena tidak memenuhi salah satu syarat hasan dan shohih yaitu bersambungnya sanad. Hal ini dapat terjadi pada:
  1. Awal sanad
Apabila terjadi penghapusan perawi diawal sanad baik seorang atau lebih maka dinamakan muallaq.
  1. Akhir sanad setelah tabi’in
Apabila terjadi penghapusan perawi setelah tabi’in maka dinamakan Mursal.
  1. Di tengah-tengah sanad
Apabila terjadi ditengah-tengah sanad maka ada dua:
  1. Yang Jelas dan ini berbagi dua :
a.       Munqati’.
 hadits munqati’ adalah semua hadits yang sanadnya tidak bersambung dalam semua sisi terputusnya baik yang hilang adalah satu atau banyak dengan syarat tidak diawal sanad dan tidak berurutan.
b.       Mu’dhol
al-Mu’dhol adalah semua hadits yang terputus sanadnya dua perawi atau lebih dengan syarat harus berurutan dan tidak diawal sanad.
  1. Yang Samar ada dua :
a.       Mudallas
b.       Mursal khofi adalah riwayat dari orang yang semasa namun tidak pernah bertemu.

Sebab kedua: Celaan pada perawi.
  1. Dusta perawi, haditsnya  dinamakan maudhu’
  2. Tuduhan dusta, haditsnya dinamakan hadits matruk
  3. Fahsyu al-Ghalath (sering salah)
  4. Ghoflah
  5. Kefasikan, Ketiga sebab ini haditsnya dinamakan mungkar menurut istilah sebagian ulama atau dhaif jiddan (lemah sekali).
  6. Wahm, haditsnya dinamakan Muallal.
  7. Mukholafah, haditsnya dinamakan syadz atau mungkar.
  8. Jahalah
  9. Bid’ah
  10. Su’u al-hifzh (lemah hafalannya) .
                                                                                                                                                             
Penjelasan Kosa kata Hadits
-       Pernyataan beliau (أنتوضأ) bermakna apakah boleh kami berwudhu. 
-       (بئر بُضاعة) dengan di dhommahkan huruf ba’nya atau dikasrahkan. Sumur Budha’ah adalah sumur yang berisi banyak dicampakkan kain pembalut haidh, daging anjing dan kotoran. Namun jangan mengira bahwa sahabat melakukan hal itu dengan sengaja padahal air waktu itu sulit atau jarang ada di daerah mereka. Hal ini terjadi karena sumur tersebut berada pada dataran rendah dan banjir membawa kotoran dari jalanan dan menghempaskannya kedalam sumur tersebut. Sebagaimana dijelaskan al-Khathabi dalam Ma’alim as-Sunan 1/37. Ada yang berpendapat bahwa angin kencang yang melemparkannya seperti dijelaskan ibnu al-Mulaqqin dalam al-Badr al-Munir 1/63. Boleh saja banjir dan angin semuanya yang membawanya kesana.
Budha`ah sendiri seperti disebutkan di dalam Mu’jam al-Buldan (1/442) adalah, “Pemukiman bani Sa`idah yang berada di Madinah. Sumur mereka ini adalah sumur yang telah terkenal.”
-       (الحيض) dengan dikasrohkan huruf ha’ dan difathahkan huruf ya’nya, bermakna kain yang dipakai untuk membersihkan darah haidh.
-        (الماء طهور) huruf alim dan lam dalam kata al-Maa’ adalah untuk bersifat umum dalam artian seluruh air maka ia suci.
-       (لا ينجسه شيء) inipun bersifat umum karena isim nakirah dalam bentuk kalimat syarat menunjukkan pengertian umum. Sehingga pengertiannya mencakup segala sesuatu.

Pengertian Hadits Secara Umum
Hadits ini menunjukkan satu kaedah umum bahwa semua air yang bersumber dari bumi, dan turun dari langit yang masih berada pada sifat penciptaannya atau yang berubah karena pengaruh tempat mengalirnya atau alat penampungnya atau terkena barang-barang suci walaupun terjadi perubahan yang banyak adalah suci dapat digunakan untuk bersuci dan lainnya.[1]Tidak terkecualikan dari keumuman ini kecuali air yang berubah warna, bau atau rasanya karena tercampur najis dengan dasar ijma’.

Faedah Hadits.
Dapat diambil beberapa faedah dari hadits ini, diantaranya:
a.       Terfahami bahwa air tidak najis dengan terkena sesuatu baik airnya sedikit atau banyak walaupun berubah sifat-sifatnya, namun yang benar ini tidak selalu ada pada keumumannya.
Imam an-Nawawi menyatakan: Ketahuilah bahwa hadits  Budha’ah adalah bersifat umum yang telah dikhususkan (‘Aam makhshush/  عام مخصوص). Dikhususkan darinya air yang berubah sifatnya dengan sebab tercampur najis, karena hal itu telah menjadi ijma’. (al-Majmu’ 1/85)
Imam asy-Syaukani di dalam Nail al-Authar (1/190) mengatakan, “Hadits tersebut menunjukkan bahwa air –secara umum- tidaklah menjadi najis hanya disebabkan terjatuhnya sesuatu. Baik air tersebut dalam jumlah yang sedikit (المَاءُ القَلِيْلُ) atau dalam jumlah yang banyak (المَاءُ الكَثِيْرُ). Baik sifat-sifat air tersebut mengalami perubahan atau tidak, hanya saja terdapat konsensus ulama bahwa apabila air mengalami perubahan pada salah satu sifatnya karena sebab najis, maka air tersebut telah keluar dari sifat ath-thahuriyah.“
Dengan demikian air itu sedikit atau banyak tetap suci dan mensucikan kecuali kalau berubah salah satu sifatnya seperti baunya atau rasanya atau warnanya dengan sebab kemasukan najis. Inilah yang menjadi mazhabnya para shahabat seperti Umar bin Khath-thab, Aisyah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan lain-lain. Demikan juga tabi’in seperti Sa’id bin Musayyab, Mujahid, Ikrimah, Hasan Bashri dan lain-lain. Dan yang menjadi mazhabnya imam Malik dan imam Ahmad -dalam salah satu pendapatnya- dan Azh Zhahiriyah dan lain-lain. Mereka semuanya mengamalkan ketegasan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Sa’id Al Khudriy (no:2) (Subulus Salam 1/17-18)
b.       Hadits ini menunjukkan bahwa air seperti air sungai, laut, sumur dan hujan itu suci mensucikan tidak ternajisi oleh sesuatu sampai diketahui menjadi najis dengan adanya sifat-sifat najasah. Diantara dalil-dalil yang menguatkan hal ini adalah:
Firman Allah :
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
dan Kami turunkan dari langit air yang suci mensucikan (QS. al-Furqan :48). Juga firman Allah:
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً بِقَدَرٍ فَأَسْكَنَّاهُ فِي الأَرْضِ وَإِنَّا عَلَى ذَهَابٍ بِهِ لَقَادِرُونَ   ،
Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya. (QS al-Mu’minun : 18). Rasulullah juga bersabda –sebagaimana opada hadits yang pertama dulu – tentang air laut:
«هو الطهور ماؤه»
Airnya suci.
c.        Pada asalnya Air itu suci dan mensucikan dari hadats dan semua najis.
d.       Air tetap suci bila berubah dengan sebab tercampur benda suci, karena sabda Rasulullah : “Tidak menajisinya sesuatu”.
e.        Air itu sedikit atau banyak apabila kemasukan najis dan tidak berubah salah satu sifatnya seperti: baunya atau rasanya atau warnanya, maka air itu tetap suci menurut mazhab yang lebih kuat dan benar dari perselisihan para ulama sebagaimana telah dijelaskan dengan luas berdasarkan dalil-dalil naql dan akal oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan beliau sendiri menguatkannya dan berpegang dengan mazhab ini. Dan inilah yang menjadi mazhabnya Malik dan Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- dan lain-lain. (Majmu’ fatawa Ibnu Taimiyyah 21/30-35)
f.         Kesucian air yang dimasukkan tangan orang yang baru bangun dari tidur malam padahal nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang orang yang baru bangun tidur untuk memasukkan kedua tangannya kedalam bejana air sampai mencucinya tiga kali. Rasululah tidak menyatakan bahwa airnya najis dan hanya melarang memasukkan tangannya saja. Karena itulah status air ini tetap dalam keumuman hadits Abu Sa’id ini.
g.       Air itu sedikit atau banyak apabila berubah salah satu sifatnya seperti: baunya atau rasanya atau warnanya dengan sebab kemasukan atau bercampur dengan suatu zat yang tidak najis seperti sabun atau daun bidara atau kamper atau tepung atau garam dan lain-lain selama tidak berubah nama bagi zat air tersebut –seperti berubah namanya menjadi air teh, air kopi atau susu- maka air tersebut tetap suci dan mensucikan berdasarkan beberapa dalil:
a.       Hadits Abu Hurairah (no:1) bahwa air laut itu suci, sedangkan air laut itu telah berubah rasanya, baunya dan warnanya karena bercampur dengan garam yang begitu banyak sehingga berubah rasanya menjadi asin, akan tetapi tidak sampai merubah nama bagi zat air tersebut.
b.       Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan memandikan orang yang mati dalam keadaan ihram dengan air dan daun bidara sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari (no: 1267,1268) dan Muslim (no:1206).    
c.        Dan beliau juga telah memerintahkan memandikan anak perempuannya yang mati dengan air dan daun bidara sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari (no: 1253).
Berkata Ibnu Taimiyyah: “Sudah maklum, bahwa daun bidara itu dapat merubah air, maka kalau sekiranya perubahan dapat merusak air tersebut niscaya beliau tidak akan memerintahkannya.”
d.       Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudlu dari bak yang di dalamnya terdapat bekas tepung sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nasaa-i (no: 415), Ibnu Majah (no: 378) dan Ahmad (6/342).
e.        Keumuman firman Allah: 
“...Maka jika kamu tidak mendapatkan air...” (Al Maidah ayat: 6).  Lafazh air bersifat umum dalam bentuk nakirah. (Majmu’ Fataawa Ibnu Taimiyyah 21/24-29).
h.       Najisnya darah haidh karena pernyataan () seandainya tidak najis tentulah tidak ditanyakan dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui hal tersebut.
i.         Najisnya bangkai hewan yang bukan hewan air dan ini adalah ijma’
j.         Tawadhu (rendah hati) nya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan wudhunya beliau menggunakan air seperti yang digunakan orang-orang berwudhu dan beliau tidak mengkhususkan untuk dirinya tanpa yang lainnya.

Masa’il
Ada beberapa masalah seputar hadits ini, diantaranya:
Pertama: Pembagian Air dari Sisi Penamaannya
Berdasarkan konteks umum pada hadits ini pula, kalangan fuqaha` Islam membagi air dari tinjauan yang lebih umum menjadi dua bagian. Yaitu air mutlak danair muqayyad.
·         Air mutlak (المَاءُ المُطْلَقُ) adalah air yang tetap berada pada asal penciptaannya. Yaitu bahwa setiap sifat/karakter air yang Allah ciptakan mengiringi zat air, baik itu sifat panas, dingin, tawar, asin ataukah selainnya. Baik air tersebut tercurah dari langit (hujan, embun dan selainnya) ataukah yang memancar dari dalam tanah (mata air, air laut, sungai dan selainnya). Jika air tersebut berada pada asal sifat air yang diciptakan Allah, maka air tersebut adalah air yang thahur yaitu pada hukum penggunaannya.
Di antara fuqaha Islam ada yang mengatakan dalam menafsirkan air mutlak ini sebagai,“air yang mana sudut pandang pemahaman setiap orang akan sama dalam menilai kemutlakan penamaan air. Semisal pada air sungai, air mata air, air telaga, air hujan dan semisalnya. Dengan demikian diperbolehkan berwudhu` -dan juga mandi- dengan kesemua air tersebut, baik ragam air tersebut berada pada tempatnya masing-masing  ataukah berada pada bejana-bejana air.” Karena perpindahan air tersebut dari satu tempat ke tempat lainnya tidaklah menggugurkan kemutlakan penamaan air dari air tersebut. Ataukah dapat dibahasakan bahwa air mutlak adalah air yang berlaku penamaan air tanpa adanya indikasi lain yang menjadi sifat lazimnya, semisal bentuk penisbatan pada air bunga.
·         Air muqayyad (المَاءُ المُقَيَّدُ) adalah kebalikan dari air mutlak diatas. Yaitu air yang mana sudut pandang setiap orang tidaklah segera memutuskan adanya kemutlakan penamaan suatu air. Air ini adalah air yang keluar dari perasan sesuatu (sari pati), semisal air perasan kayu, air perasan buah dan bunga dan semisalnya.
Termasuk juga dalam kategori air muqayyad adalah setiap air mutlak yang bercampur dengan zat-zat cair lainnya –baik zat cair tersebut suatu yang thahir atau najis-. Dimana pencampuran zat cair tersebut pada air mutlak sampai pada taraf hilangnya penamaan kemutlakan air, misalnya air cuka, air susu dan selainnya. Air mutlak yang telah mengalami perubahan sifat kemutlakannya tersebut karena bercampur dengan sesuatu yang thahir, hingga percampuran tersebut menghilangkan penamaan kemutlakan air pada suatu air mutlak tidaklah tergolong sebagai air yang thahur. Dengan kata lain, sifat ath-thahuriyah pada air mutlak tersebut telah sirna seiring dengan hilangnya kemutlakan penamaan air padanya, baik kadar air tersebut banyak atau sedikit.

Kedua: Hukum Thaharah dengan Air Mutlak
Pada dasarnya, jenis air yang diperbolehkan untuk thaharah (wudhu` atau mandi) adalah air yang berada pada kemutlakannya. Berdasarkan beberapa dalil berikut,
Pertama, Firman Allah ta’ala,
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
Dan Kami telah turunkan dari langir air yang thahur.” (QS. Al-Furqan: 48)
Kedua, hadits Abu Sa’id al-Khudri di atas.
Ketiga, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab ash-Shahih beliau, bahwa Nabi bersabda di dalam doa beliau, 

“Wahai Allah sucikanlah aku dengan salju, air dan es.”
Keempat, hadits Abu Hurairah tentang hukum pemakaian air laut untuk thaharah, yang telah kita sebutkan pada edisi sebelumnya.
Kelima, konsensus ulama sebagaimana kutipan beberapa ulama

Ketiga: Pembagian Air Mutlak.
Para ulama berbeda pendapat mengenai pembagian air mutlak ini dalam beberapa pendapat, yang masyhur ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Air terbagi menjadi tiga; Thohur, Thaahir dan Air Najis. Ini adalah pendapat mayoritas ulama (lihat al-Inshaaf 1/21-22 dan Hasyiyah ibnu Qaasim 1/88-89).
Dalil pendapat ini:
a.     Firman Allah Ta’ala:
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
Dan Kami turunkan dari langit air yang suci mensucikan (QS. al-Furqan :48). Juga firman Allah:
إِذْ يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَى قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الْأَقْدَامَ  
(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki(mu) (QS al-Anfal:11).
Dalam dua ayat diatas ada kata Thahur dengan pengertian mensucikan sehingga berisi makna transitif dan berulang-ulang.
b.     Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
“Air laut itu suci, (dan) halal bangkainya.”
Pertanyaan shahabat disini bukan pertanyaan tentang kesucian air laut , karena kesuciannya sudah diketahui oleh mereka. Oleh karena itu pertanyaannya tentang air laut mensucikan sehingga diperbolehkan berwudhu dan mandi dengannya. Ini menunjukkan bahwa dalam pemahaman para sahabat sudah ada air suci yang tidak digunakan bersuci dan inilah yang dinamakan ath-Thaahir.
c.      Berdalil dengan hadits tentang larangan kencing diair yang menggenang dan larangan berwudhu dari bekas bersuci wanita serta larangan menmasukkan tangan kebejana bagi orang yang bangun tidur. Air-air ini bukan najis namun ada larangan berwudhu atau mandi wajib dengan menggunakannya walaupun masih suci.

Pendapat kedua menyatakan air terbagi menjadi dua; air najis dan air suci mensucikan (Thahur). Ini adalah pendapat al-Hasan al-bashri, Sufyan dan riwayat dari imam Ahmad dan tertulis dalam mayoritas jawaban beliau (lihat Majmu’ al-fatawa 21/331). Ini juga madzhab banyak ulama Hanafiyah (lihat fathul Qadir 1/48), dan dirojihkan sejumlah ulama seperti Abul Wafa Ibnu ‘Aqil al-hambali (lihat Syarh az-Zarkasyi 1/129), Ibnu Taimiyah (majmu’ al-Fatawa 21/24-29), Ibnul Qayyim (lihat Tahdzib as-Sunan 1/56-74), asy-Syaukani (As-Sailul Jaraar 1/56-58), Abdurrahman as-Sa’di dan Abdulaziz bin Abdillah bin Baaz serta lain-lainnya.
Pendapat ini berdalil dengan dalil-dalil berikut:
a.       Firman Allah ta’ala:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air,  Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (QS an-Nisaa`/4: 43)
Dalam ayat ini ada kata () yang bersifat nakirah dalam kontek kalimat negatif, sehingga mencakup semua jenis air. Semua yang dinamakan air diperbolehkan untuk menghilangkan hadats, walaupun berubah sifatnya. Tidak keluar dari keumuman ini hingga kita pindahkan dari penamaan air muthlak kepada nama lain atau terjadi ijma’ mencegah penggunaannya seperti yang berubah sifatnya dengan sebab najis. (lihat Majmu’ al-Fatawa 21/25)
b.                   Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam dalam hadits sumur budha’ah ini, dengan adanya pengecualian bila berubah salah satu sifat dasarnya. Ini adalah dalil yang kuat, seandainya ditelaah baik-baik hadits ini akan didapatkan pada asalnya air dihukumi boleh untuk bersuci dan tidak berubah hukumnya kepada najis kecuali bila berubah sebagian sifat dasarnya oleh najis. Sehingga air itu thahur dan najis saja.
c.        Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Air laut itu suci, (dan) halal bangkainya.”
Air laut yang berubah dengan rasa garam yang berlebih yang membuat sahabat ragu tentang hukumnya.  Walaupun ada perubahan namun tetap Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menghukuminya sah untuk bersuci. Hal ini menunjukkan semua yang berubah karena tercampur benda suci maka tetap dalam keadaan thahur (suci mensucikan) kecuali bila bagian benda yang mencampurinya dominan.  Maka ketika itu berpindah  dari penamaan air. Contohnya teh dan juice tidak dinamakan air. Seandainya seorang diminta untuk menyediakan teh, lalu datang membawa air atau diminta air dan membawa teh, tentulah tidak dikatakan telah memenuhi permintaan tersebut.
d.                   Adanya hadits-hadits yang shahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang perintah memandikan dengan air yang bercampur dengan sebagian benda suci. Dalam kisah orang yang berihram yang meninggal terinjak onta. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Mandikanlah dengan air yang dicampur daun bidara (hadits ini diriwayatkan imam al-Bukhori dan Muslim).
Sudah dimaklumi air yang ditambahkan daun bidara akan berubah sifatnya. Demikian juga dalam hadits Ummu ‘Athiyah ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam datang mendapati beberapa wanita yang sedang memandikan jenazah putri beliau. Beliaupun bersabda: 
اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا، أَوْ خَمْسًا، أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ، بِمَاءٍ وَسِدْرٍ، وَاجْعَلْنَ فِي الآخِرَةِ كَافُورًا، فَإِذَا فَرَغْتُنَّ فَآذِنَّنِي
Mandikanlah dengan air dan daun bidara tiga kali atau lima kali atau lebih jika kalian memandang perlu dan jadikanlah di bilasan terakhir kapur barus. Apabila kalian telah selesai maka beritahulah Aku. (Muttafaqun ‘Alaihi).
e.        Hadits Ummu Hani yang dikeluarkan imam Ahmad dalam al-Musnad 6/342 beliau berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْتَسَلَ وَمَيْمُونَةَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ فِي قَصْعَةٍ فِيهَا أَثَرُ الْعَجِينِ
Sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mandi bersama Maimunah dari satu bejana berisi bekas adonan roti. (hadits dishahihkan al-Albani dalam al-Irwa’  1/64)
Sudah dimaklumi adonan roti akan bercampur dengan air dan sebagian dari adonan tersebut akan nampak di air tersebut sehingga merubahnya.
f.         Air adalah masalah yang banyak dibutuhkan manusia melebihi kebutuhan mereka yang lainnya. Oleh karena itu para sahabat semangat sekali mengetahui hukum-hukum air. Sangat jauh sekali bila ada pembagian air dan tidak dinukilkan dari seorangpun sahabat berpendapat demikian.
Pendapat yang rojih.
Pendapat yang rojih bahwa air terbagi menjadi dua bagian; suci mensucikan (thahur) dan air najis. Berdasarkan kuatnya dasar argumentasi pendapat yang kedua. Oleh karena itu Syeikhul Islam ibnu taimiyah berkata: Pembagian ini menyelisihi al-Qur`an dan sunnah dan Allah Ta’ala hanya berfirman:
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); (QS al-Maaidah:6)
semua yang dinamakan air maka dia suci mensucikan baik sudah digunakan dalam bersuci yang wajib, atau sunnah, baik tercampur najis atau tidak tercampur apabila diketahui najisnya telah berubah dan lenyap. Adapun bila tampak bekas pengaruh najisnya, maka diharamkan penggunaannya, karena penggunaan barang yang dilarang. ( Majmu’ al-fatawa 19/236-237).
Hal ini ditegaskan juga oleh Syeikh Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di dalam menjelaskan hadits sumur buda’ah, beliau menyatakan : Maksudnya, hadits ini (hadits Abu Sa’id) menunjukkan air terbagi menjadi dua bagian:
    1. Najis yaitu air yang berubah salah satu sifatnya karena najis, baik sedikit ataupun banyak
    2. Thahur yaitu yang selainnya.
Penetapan jenis ketiga yang tidak thahur dan tidak juga najis bahkan dikatakan thahir tidak berdasarkan dalil syar’i, sehingga tetap berada pada asal kesuciannya (thahuriyah). Keumuman hadits ini dikuatkan dengan firman Allah :
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); (QS al-Maaidah:6)
ini bersifat umum untuk semua air karena nakirah dalam kontek penafian, sehingga mencakup seluruh air dan keluar darinya air najis karena adanya ijma’. (Bahjah Quluub al-Abraar hlm 136)
Sedangkan Syeikh Abdulaziz bin Abdillah bin Baaz menyatakan: Yang benar, air mutlak terbagi menjadi dua; thahur dan najis. Allah berfirman :
 وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
Dan Kami telah turunkan dari langir air yang thahur.” (QS. Al-Furqan: 48) dan firmanNya juga:
إِذْ يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَى قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الْأَقْدَامَ  
(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki(mu) (QS al-Anfal:11)
Nabi bersabda:
إنَّ المَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيءٌ.
 Sesungguhnya air adalah thahur tidaklah sesuatu menjadikan air tersebut najis.” 
Maksudnya adalah kecuali yang berubah, rasa, bau atau warnanya karena kecampuran najis, maka ia najis menurut ijma’ ulama. Sedangkan yang tercampur dalam air berupa minuman, daun, atau sejenisnya, maka tidak membuat najis air tersebut dan tidak hilang sifat thahuriyahnya selama masih dinamakan air. Apabila telah berubah penamaan airnya dengan sebab campuran tersebut kepada nama lain seperti susu, kopi, teh dna sejenisnya, maka ia keluar dengan sebab itu dari nama air dan tidak dinamakan air lagi, namun ia tetap suci walaupun adanya campuran ini dan tidak najis. (Majmu’ Fatawa wa Maqalaat Syeikh Bin Baaz 10/56)

Keempat: Air Tercampur Benda Suci.
Pencampuran air dengan zat-zat thahir sendiri terbagi atas beberapa kondisi pencampuran yang mengakibatkannya dinisbatkan kepada benda tersebut.
Penisbatan itu diantaranya:
Pertama: Penisbatan yang tidak memberi sifat thaharah pada satu riwayat –yaitu di mazhab Imam Ahmad-. Yang mana terdiri atas tiga jenis,
1.       Air sari pati dari zat yang thahir, semisal sari pati bunga, cengkeh dan termasuk juga tetesan air (getah) dari belahan –kayu- pohon apabila dipotong  dalam keadaan basah.
2.       Zat thahir yang bercampur dengan air hingga merubah penamaan air tersebut ataukah unsur-unsur zat thahir tersebut lebih mendominasi, semisal cuka dan selainnya.
3.       Air yang dipergunakan untuk merebus sesuatu zat yang thahir hingga merubah nama air.
Kedua: Penisbatan yang diperbolehkan untuk berwudhu` pada satu riwayat –dalam mazhab Imam Ahmad-, yang terdiri atas tiga bagian:
1.       Penisbatan yang tidak menyebabkan pencampuran, dan semacam ini tidak terdapat perbedaan diantara ulama.
2.       Pencampuran dengan sesuatu yang tidak mungkin untuk dihindari, semisal tanaman (lumut atau semisalnya) yang  tumbuh di dalam air ataukah dedaunan yang terjatuh ke dalam air.
3.       Pencampuran dengan suatu yang memiliki sifat ath-thahuriyah sebagaimana sifat air itu sendiri. Semisal tanah, yang walau merubah sifat air namun tidak menghalangi sifat ath-thahuriyah air karena kedua-duanya memiliki sifat ath-thahuriyah.
4.       Pencampuran akibat persinggungan dengan air tanpa mengalami penyatuan zat. Semisal krim gel atau zat-zat thahir berbentuk padatan selama tidak melebur dengan air.

Kelima: Air Mutlak Tercampur najisDan Berubah Sifatnya.
Tercampurnya pencampuran air mutlak dengan suatu yang najis, dan berubah salah satu sifatnya maka airnya menjadi najis dengan konsensus/kesepakatan ulama. Mereka berijma’  bahwa air tersebut telah menjadi najis, jika najasah/najis yang berada dalam air telah merubah unsur-unsur dan sifat dasar air. Diantara ulama yang menukilkan ijma’ ini adalah: Ibnu al-Mundzir dalam al-Ijma’ hlm 33 , imam asy-Syafi’i dalam kitab Ikhtilaaf al-Hadits yang dicetak bersama kitab al-Umm 7/112 , an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab 1/85-86, ibnu Hajar dalam fathul Baari 1/342, Ibnu Taimiyah dalam majmu’ al-Fatawa 21/30, asy-Syaukani dalam nailul Authar 1/42, Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahidin 1/40 dan lainnya.
Ibnul Mundzir dalam kitab al-Ijma’ (hlm 33) mengatakan, “Ulama telah sepakat bahwa air yang sedikit atau banyak, apabila suatu najis terjatuh ke dalamnya dan najis tersebut merubah rasa, warna atau aroma air, maka air tersebut dihukumi najis. Berwuhdu` dan mandi dengan air tersebut tidak sah.”
Kutipan yang senada dengan pernyataan Ibnul Mundzir di atas juga disampaikan oleh Ibnu Qudamah serta Ibnu Rusyd dan beliau menambahkan, “Dan mereka –para ulama- sepakat bahwa air dalam kapasitas yang sangat banyak yang tidak mengalami perubahan sifat-sifatnya (akibat adanya najis pada air tersebut), air yang sangat banyak tersebut hukumnya thahir (suci).”
Asy-Syaukani dalam menguatkan hal di atas mengatakan, “Dan persinggungan langsung (antara air dan najis) bukanlah tolak ukur dan bukan juga sebab berlakunya hukum najis kecuali jika najis tersebut telah merubah sifat-sifat air. Jikalau salah satu dari sifat-sifat dasar air telah mengalami perubahan, maka air telah dihukumi sebagai najis, baik air itu dekat atau berada jauh dari zat najis.”
[Lihat juga pembahasan ini di dalam al-Hawi al-Kabir 1/37-39, al-Mughni 1/13-20, al-Lubab 1/39-40, al-Ausath 1/260, Bidayah al-Mujtahid 1/72, Syarh al-Muntaha 1/14, Nail al-Authar 1/190-191, as-Sail al-Jarrar 1/54, ar-Raudhah an-Nadiyah 1/53, asy-Syarh al-Mumti’ 1/24]

Keenam: Apabila Benda Najis jatuh ke air dan tidak berubah sifat-sifatnya
Apabila air tercampur benda najis dan tidak berubah sifat-sifat dasarnya apakah kita hukumi najis atau tidak ?
Masalah ini dikatan oleh asy-Syaukani dalam Nailul Authar 1/42: Masalah ini termasuk yang sulit hanya sebagian orang saja yang dapat mengetahui kebenarannya .
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan air terbagi menjadi dua, air yang sedikit dan air yang banyak. Air yang banyak maka tidak menjadi najis dengan masuknya benda najis tanpa adanya perubahan sifat air. Apabila airnya sedikit maka sekedar masuknya benda najis kedalam air tersebut sudah membuatnya najis walaupun tidak terjadi perubahan sifat airnya, dengan adanya perbendaan diantara mereka tentang ukuran sedikit dan banyaknya air yang mu’tabar dalam masalah ini. Ini adalah pendapat madzhab Abu Hanifah (lihat Syarhu Fathul Qadir 1/70 dan Tabyiin al-haqaiq 1/21), riwayat lemah dari imam Maalik   yang diriwayatkan ahli mesir (lihat Syarhu az-Zarkasyi 1/123-124)dan mandzhab asy-Syafii (lihat al-Umm 1/18, al-Majmu’ 1/162) serta riwayat dari imam Ahmad.(lihat al-Mughni 1/31).
Pendapat ini berargumentasi dengan dasar- dasar sebagai berikut:
  1. Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:  
إِذَا كَانَ المْاَءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الخَبَثَ وَفِيْ لَفْظٍ:لمَ ْيَنْجُسْ  أَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وابنُ حِبّانَ.
 “Apabila air itu berukuran dua qullah maka air itu tidak kotor (najis).” Dan dalam salah satu riwayat dengan lafazh: “tidak dapat ternajiskan.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidziyy, Nasaa-i, dan Ibnu Majah dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, dan Al Hakim dan Ibnu Hibban. (hadits ini hadits no.5 dalam kitab Bulughulmaram).
Ini adalah dasar bahwa selama seukuran dua qullah atau lebih tidak sama dengan hukum air yang kurang dari dua qullah. Ibnu Qudamah rohimahullah berkata : Seandainya sama hukum air dua qullah dengan yang kurang dari itu maka tidak ada faedah dari pembatasan tersebut. (al-Mughni 1/37)
Menurut pendapat ini apabila air seukuran dua qullah atau lebih maka air tidak najis kecuali dengan perubahan sifat karena najis. Adapun yang kurang darinya maka menjadi najis dengan tercampurnya benda najis pada air tersebut.
  1. Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ، فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
Apabila salah seorang kalian bangun dari tidurnya, maka jangan memasukkan tangannya ke dalam bejana hingga mencucinya tiga kali, karena dia tidak mengetahui dimana tangannya ketika tidur. (Muttafaqun ‘alaihi).
Kalau seandainya air tersebut tidak najis tentulah beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya. Jelas air tersebut adalah sedikit. (lihat Tharhu at-Tatsrib 2/44).
  1. Hadits yang diriwayatkan imam Muslim dalam shahihnya 1/234 dari hadits Abu Hurairoh :
قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ: طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ.أخْرَجَهُ مُسْلِمٌ. وَفِيْ لَفظٍ لَهُ: "فَلْيُرِقْهُ" وَلِلتِّرْمِذِيِّ: "أُخْرَاهُنَّ، أَوْ أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ."
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda: Sucinya bejana kamu yang dijilat anjing adalah dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali dan yang pertama dengan tanah. Diriwayatkan oleh Muslim. Dan dalam suatu lafazhnya: Hendaklah ia membuang air yang di bejana tersebut. Dan dalam riwayat Tirmidziy dengan lafazh: Salah satu bilasannya dengan tanah atau yang pertamanya.
Dalam hadits ini Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mencuci bejana yang terkena air liur anjing dan menjadikannya sebagai alat pensuciannya, sebagaimana juga memrintahkan untuk membuang air yang ada di bejana tersebut tanpa membedakan antara yang berubah dan yang tidak berubah sifatnya. Ini menunjukkan bahw anajasah mempengaruhi kesucian air walaupun tidak berubah sifatnya.
Pendapat kedua menyatakan tidak ada perbedaan antara banyak dan sedikitnya air. Semua yang berubah sifatnya karena najis maka dia najis baik jumlahnya banyak atau sedikit, karena dasar ijma’ . semulur yang tidak berubah karena najis tidaklah najis walaupun kemasukan najis.
Ini  adalah madzhab banyak sahabat dan sejumlah besar tabi’in. Juga merupakan riwayat dari imam Maalik dari riwayat ahli madinah (lihat al-Mudawwanah 1/132   dan dirojihkan ibnu Abdilbarr dalam at-Tamhid 1/327 dan al-Istidzkaar 2/103), salah satu pendapat imam Syafi’i (lihat al-majmu’ 1/163), satu riwayat dari imam Ahmad (lihat al-Mughni 1/31) dan madzhab banyak ahli tahqiq seperti Ibnu taimiyah (lihat Majmu’ al-fatawa 21/32), Ibnul Qayyim (lihat Tahdzib as-Sunan 1/65), Ibnu Daqiqilied (lihat Ihkaam al-Ahkaam 1/21), asy-Syaukani (lihat Nailul Authar 1/42), ash-Shan’ani (lihat Subulussalam 1/42), Muhammad bin Abdilwahab, Abdullah bin Muhammad bin Abdilwahab,  Abdullah Aba Buthain (lihat Muallafat Syeikh Muhammad bin Abdilwahab bagian kedua (Fikih) 1/13)dan sejumlah ulama kontemporer seperti Syeikh Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di (lihat al-majmu’ah al-Kaamilah li muallafat asy-Syeikh Abdurrahman as-Sa’di (4/fikih/2/91), syeikh Abdulaziz bin Abdillah bin Baaz (lihat Fatawa al-Lajnah ad-daaimah Lilbuhuts al-Ilmiyah wal Iftaa` 5/72-78) dan syeikh Muhammad nashiruddin al-Albani (lihat Tamaamulminnah hlm 46).
Pendapat ini berargumentasi dengan dalil-dalil berikut:
  1. Firman Allah Ta’ala:
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا [الفرقان: 48]
Dan Kami telah turunkan dari langir air yang thahur.” (QS. Al-Furqan: 48)
Ibnu Abdilbar dalam at-tamhid 1/330 berkata: dalil yang menunjukkan air tidak rusak kecuali dengan yang tampak berupa najis adalah Allah menamakan air thahur dalam firmanNya:
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا [الفرقان: 48]
Dan dalam kata “thahur” ada dua pengertian:
Pertama: Thahur bermakna Thaahir  (طاهِر) seperti kata Shabur (صَبُوْر) bermakna Shaabir (صَابِر) dan Syakur (شَكُوْر) bermakna syaakir (شَاكِر) dan yang semisalnya
Kedua: bermakna Fa’uul (فَعُوْل)  dengan makna qatuul () dan dharuub () sehingga bermakna transitif dan memperbanyak. Hal ini ditunjukkan firman Allah:
 وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ
Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan (QS al-Anfal:11).
  1. Hadits sumur Budha’ah ini. Ibnul Qayyim berkata: Wudhunya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan keadaan sumur budha’ah seperti yang telah dijelaskan kepada beliau adalah dalil yang menunjukkan air tidak menjadi najis dengan tercampur benda najis padanya tanpa adanya perubahan sifat. (Tahdzibus Sunan Hasyiah sunan Abi dawud 1/83).
  2. Yang dinilai adalah yang dominan. Apabila air yang tercampur najis lebih diminan dan mengalahkan najisnya sehingga tidak ada pengaruh pada warna, bau atau rasanya, maka kesuciannya lebih dominan sehingga tetap thahur.  Sedangkan bila tampak sebagian pengaruh najis, maka ketika itu najis lebih dominan sehingga menjadi najis. Inilah yang mu’tabar dalam semua hal.
  3. Para ulama bersepakat seperti dijelaskan ibnul Mundzir dalam al-Ausath 1/269 tentang air yang sedikit itu suci sebelum tercampur najis dan tidak bersepakat apabila najis mencampurinya dan tidak merubah warna air atau rasa atau bau adalah najis. Air yang dihukumi suci adalah suci hingga ada kepastian hukum najisnya dengan khabar (al-Quran dan sunnah) atau ijma’.
  4. Air adalah masalah yang banyak dibutuhkan manusia melebihi kebutuhan mereka yang lainnya. Oleh karena itu para sahabat semangat sekali mengetahui hukum-hukum air. Seandainya syariat membedakan antara air yang banyak dan sedikit dan menjadikan hukum khusus untuk air yang banyak dan yang sedikit hukum khusus yang berbeda, tentulah mereka mengetahuinya dan mengetahui kadar ukuran banyak dan sedikit serta menukilkannya kepada orang setelah mereka.
Pendapat yang kedua yang tidak membedakan air yang banyak dan sedikit inilah yang rojih, karena kuatnya argumen mereka dan lemahnya argumen pendapat yang menyelisihinya. Demikian juga karena lebih dekat kepada kemudahan syariat. Pendapat ini dirojihkan Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dengan menyatakan: Yang shahih, air tidak menjadi najis tanpa ada perubahan sifat; karena hukum berporos kepada sebab hukum dalam penetapan dan peniadaan. Apabila ada najis maka air menjadi najis. (liqa’ Babul Maftuh 5/102)
Diantara yang melemahkan pendapat yang pertama adalah ketidak sepakatan mereka tentang ukuran air itu banyak atau sedikit.
Diantara mereka ada yang membatasinya dengan air bila digerakkan tepinya maka tepi yang lainnya tidak bergerak. Ini adalah pendapat Abbu hanifah. 
Ada yang membatasinya dengan air yang tidak ada seorangpun yang punya praduga adanya najis apabila digunakan.
Ada yang membatasinya dengan dua qullah.
Maka ibnu Abdilbar dalam at-Tamhid 1/328 menyatakan: Ini yang tidak bisa dibakukan karena perbedaan pendapat orang dan perbedaan yang ada dihati-hati mereka.
Wallahu a’lam.



[1]Disarikan dari Bahjah Qulub al-Abrar, Syeikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di hlm 132

0/Post a Comment/Comments

Partner

Your Ads Here
73745675015091643
Your Ads Here
Your Ads Here

Translate