FmD4FRX3FmXvDZXvGZT3FRFgNBP1w326w3z1NBMhNV5=
Your Ads Here
items

hadist kulit bangkai


Penyamakan Kulit Bangkai

18-. وَعَنْ ابْنِ عَبّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ. أخرجهُ مسلم.
 وَعِنْدَ الأَرْبَعَةِ أَيُّمَا إهَابٍ دُبِغَ.
TERJEMAH HADITS.
18. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu , ia berkata, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam  bersabda,”Apabila kulit bangkai itu telah disamak, maka sesungguhnya kulit itu telah suci.” (Diriwayatkan oleh Muslim). Dan bagi Abu Dawud, At Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah dengan lafazh: “Kulit bangkai apa pun yang telah disamak, (maka sesungguhnya kulit itu telah suci)”.

TAKHRIJUL HADITS
Hadits Ibnu Abbas ini dikeluarkan imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab al-haidh bab (طَهَارَةُ جُلُوْدِ الْمَيْتَةِ بِالدِّبَاغِ) no. 366 dengan lafazh ini dari jalan periwayatan Zaid bin Aslam dari Abdurrahman bin Wa’lah dari ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma. Juga hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4123, at-Tirmidzi 1728, an-Nasaa’i 7/173 dan Ibnu Majaah 3609 dari ibnu Abaas dengan sanad yang sama dengan lafazh
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
Semua kulit bangkai yang di samak maka telah suci.
Imam at-tirmidzi berkata: Hadits Hasan Shahih.
Dengan demikian jelaslah bahwa al-Haafizh melakukan kesalahan dalam ungkapan beliau : (وعند الأربعة) karena Abu Dawud meriwayatkannya sama dengan lafazh imam Muslim. Wallahu a’lam. 
Kecuali lafazh Abu Dawud, (yaitu) sama dengan lafazh Muslim. Jadi hadits di atas dengan dua lafazh-nya telah dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dari jalan yang sama, yaitu dari beberapa jalan dari Zaid bin Aslam, dari Abdurrahman bin Wa’lah, dari Ibnu Abbas.

***
19-. وَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْمُحَبِّقِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دِبَاغُ جُلُوْدِ الْمَيْتَةِ طُهُوْرٌهَا. صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّان.

TERJEMAH HADITS
19-Dari Salamah bin Al Muhabbiq Radhiyallahu anhu , ia berkata, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Menyamak kulit bangkai itu berarti menyucikannya.”  (Dan telah dishahihkanoleh Ibnu Hibban).

BIOGRAFI PERAWI
                Salamah bin al-Muhabbiq al-Hudzali Abu Sinaan, seorang sahabat yang meriwayatkan dua belas hadits Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam. Diantara yang meriwayatkan darinya adalah putra beliau Sinaan, Jun bin Qatadah, al-Hasan al-Bashri.

TAKHRIJUL HADITS
Haditsini dikeluarkan oleh Abu Dawud. No. 4125; Nasa’i,7/173-174; Ahmad, 3/476 dan 5/6; Ibnu Hibban, no. 124 –Mawarid-) dan Al Baihaqi, juz 1 hlm. 21, semuanya dari jalan Qatadah, dari Hasan, dari Jaun bin Qatadah, dari Salamah bin Muhabbiq (ia berkata):
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ غَزْوَةِ تَبُوْكَ أَتَى عَلَى بَيْتٍ فَإِذَا قِرْبَةٌ مُعَلَّقَةٌ فَسَالَ الْمَاءُ،
فَقَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّهَا مَيْتَةٌ! فَقَالَ: دِبَاغُهَا طُهُوْرُهَا.
Bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam di dalam perang Tabuk pernah mendatangi sebuah rumah, maka (di halaman rumah tersebut) ada tergantung sebuah tempat air yang terbuat dari kulit (binatang), lalu beliau meminta air (yang ada di tempat air itu). Maka mereka berkata (menjelaskan),”Ya Rasulullah, sesungguhnya tempat air itu terbuat dari kulit bangkai.” Maka beliau bersabda,”Menyamaknya adalah menyucikannya.”

Ini adalah lafazh Abu Dawud. Sedangkan lafazh Nasa’i sebagai berikut:
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْمُحَبِّقِ : أَنَّ نَبِيَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ غَزْوَةِ تَبُوْكَ دَعَا بِمَاءٍ مِنْ عِنْدِ امْرَأَةٍ.
قَالَتْ: مَا عِنْدِيْ إِلاَّ فِيْ قِرْبَةٍ لِيْ مَيْتَةٍ قَالَ: أَلَيْسَ قَدْ دَبَغْتِهَا؟ قَالَ: بَلَى. قَالَ: فَإِنَّ دِبَاغُهَا ذَكَاتُهَا

Dari Salamah bin Muhabbiq (ia berkata), bahwa Nabi Allah shalallahu ‘alaihi wa salam di dalam perang Tabuk pernah meminta air kepada seorang wanita. Wanita itu berkata,”Aku tidak memiliki (air), kecuali (air) yang ada di tempat air yang terbuat dari kulit bangkai.” Beliau bertanya,”Bukankah engkau telah menyamaknya?” Wanita itu menjawab,”Ya.” Beliau bersabda,”Maka sesungguhnya menyamaknya adalah sama dengan menyembelihnya, (yakni menghalalkannya untuk dipakai sebagai tempat air dan lain-lain).”

Hadits ini juga dikeluarkan ibnu Hibbaan 4522 dari riwayat Juun bin Qatadah dari Salamah dengan lafazh:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ غَزْوَةِ تَبُوْكَ أَتَى عَلَى بَيْتٍ في فنائه قِرْبَةٌ مُعَلَّقَةٌ فاستسقى، فقيل له: إِنَّهَا مَيْتَةٌ! فَقَالَ: ذَكَاةُ الأَدِيْمِ دِبَاغُهُ
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam di dalam perang Tabuk pernah mendatangi sebuah rumah, maka di halaman rumah tersebut ada tergantung sebuah tempat air yang terbuat dari kulit (binatang), lalu beliau meminta air (yang ada di tempat air itu). Maka mereka berkata (menjelaskan),”Sesungguhnya tempat air itu terbuat dari kulit bangkai. Lalu beliau bersabda: Penyembelihan bangkai  itu adalah penyamakannya.
Jaun bin Qatadah ini dimasukkan ibnu Hibbaan dalam at-Tsiqah dan sisa perawinya adalah perawi syeikhain kecuali sahabat Salamah
Inilah lafazh yang ada pada Ibnu Hibban dari jalan Salamah bin Muhabbiq. Sedangkan lafazh yang dibawakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar di atas dikeluarkan oleh Ibnu Hibban, no. 123, akan tetapi dari jalan Aisyah, bukan dari jalan Salamah bin Muhabbiq.
Sedangkan sanad hadits Salamah bin Muhabbiq dha’if, karena Jaun bin Qatadah seorang rawi yang tidak dikenal sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad. (Tahdzibut Tahdzib 2/122-123; Mizanul I’tidal 1/427). Karena tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Hasan Bashri dari Qurrah bin Khalid.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam al-Musnad dengan sanad ini dan lafazhnya:
    «دباغها طهورها أو ذكاتها»
Lafazh ini mirip dengan yang disampaikan ibnu Hajar dalam Bulughulmaram
Riwayat A’isyah dikeluarkan oleh Abu dawud 4125, an-Nasaa’i 7/173-174. Lafazh hadits yang dibawakan ibnu Hibaan adalah lafazh hadits ‘Aisyah yang dikeluarkan ibnu Hibaan no. 1290 dan Ahmad serta an-Nasaa’i 7/174.
Al-Haafizh disini menukilkan tash-hih (penilaian shahih) dari Ibnu Hibbaan. Akan tetapi hadits di atas shahih lighairihi- karena Jaun bin Qatadah seorang Majhul yang tidak memberikan rekomendasi kecuali ibnu Hibban. (at-Tsiqaat 4/119) Imam adz-Zhahabi menukilkan pernyataan Ahmad bin Hambal tentang jaun ini . beliau berkata: tidak dikenal.( al-Mizaan 1/427).  Sedangkan al-Mizzi menukilkan pernyataan Ali bin al-Madini: Beliau seorang yang terkenal dan berkata di bagian yang lainnya: Orang-orang yang diambil riwayatnya oleh al-Hasan termasuk majhul (yang tidak dikenal), ..lalu menyebutkan diantara mereka: Jaun bin Qatadah. (tahdzib al-Kamaal 5/165) Al-Haafizh dalam at-Taqrieb : Tidak benar beliau termasuk sahabat dan dia termasuk perawi yang dikenal dan diterima bila ada penguatnya (Maqbul).
Namun hadits ini memiliki sejumlah syawahid-nya, diantaranya dari Ibnu Abbas, Maimunah, Aisyah, dan lain-lain.
***

20-. وَعَنْ مَيْمُوْنَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا، قَالَتْ: مَرَّ النَّبيُّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ يَجُرُّوْنَهَا، فَقَالَ: لَوْ أَخَذْتُمْ إهَابَهَا؟ فَقَالُوْا: إِنَّهَا مَيْتَةٌ، فَقَالَ: يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ. أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدُ وَالنَّسَائِيُّ.

TERJEMAH HADITS

20.    Dari Maimunah  , ia berkata, Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam pernah melewati seekor kambing yang mereka seret, maka beliau pun bersabda,Seandainya kalian ambil kulitnya?” Mereka berkata,”Ini adalah bangkai.” Beliau bersabda,Air dan daun salam itu adalah bahan untuk menyucikannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i)

TAKHRIJUL HADITS
Hadits ini diriwayat Abu Dawud, no. 4126; Nasa’i, (7/174-175 no 4248); Ahmad 6/334 dan Baihaqi 1/19 dari jalan Katsir bin Farqad, dari Abdullah bin Malik bin Hudzaafah, dari ibunya (yaitu) Aliyah binti Suba’i, beliau berkata :
كان لي غنم بأُحد، فوقع فيها الموت، فدخلتُ على ميمونة زوج النبي صلّى الله عليه وسلّم فذكرت ذلك لها، فقالت لي ميمونة: لو أخذتِ جلودها فانتفعتِ بها، فقلت: أو يَحِلُّ ذلك؟ قالت: نعم، أَنَّهُ مَرَّ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رِجَالٌ مِنْ قُرَيْشٍ يَجُرُّونَ شَاةً لَهُمْ مِثْلَ الْحِصَانِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا قَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ
Aku memiliki seorang kambing di Uhud lalu mati. Setelah itu aku menemui Maimunah istri Nabi shalallahu’alaihi wa sallam dan menyampaikan hal itu kepadanya. Lalu maimunah menjawab: Seandaikan kamu mengambil kulitnya sehingga kamu dapat memanfaatkannya. Lalu aku berkata: Apakah itu boleh? Beliau menjawab : Ia, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati satu kaum dari Quraisy sedang menyeret-nyeret seekor kambing milik mereka seperti kuda. Maka beliau pun bersabda kepada mereka,Seandainya kalian ambil kulitnya?” Mereka berkata,”Ini adalah bangkai.” Beliau bersabda,Air dan daun salam itu adalah bahan untuk menyucikannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i)

Sanad hadits ini dha’if, karena Abdullah bin Malik bin Hudzaafah seorang rawi yang majhul. Tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Katsir bin Farqad. Akan tetapi, hadits ini shahih dishahihkan al-Albani Rahimahullah dalam Shahih Abu Dawud 2/777.
Hadits ini memiliki beberapa syawahidnyadiantaranya:
1.       Dari jalan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, berliau berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِشَاةٍ مَيِّتَةٍ فَقَالَ هَلَّا اسْتَمْتَعْتُمْ بِإِهَابِهَا قَالُوا إِنَّهَا مَيِّتَةٌ قَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam melewati seekor bangkai kambing, lalu berkata: Seandainya kalian manfaatkan kulitnya. Mereka berkata: Itu adalah bangkai. Beliau shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab: Yang haram hanyalah memakannya. (HR al-Bukhari no. 5531 dan Muslim no 363).
2.       Ada juga dari Ibnu Abbas dalam riwayat lain yang semakna dengannya dikeluarkan oleh Daruquthni, no. 95, 96 kitab Thaharah, Bab Ad Dibagh.
3.       Hadits Maimunah sendiri dengan beberapa jalannya yang diriwayatkan oleh Muslim dan lain-lain.
4.       Hadits-hadits sebelumnya.

kesimpulan : Hadits ini shahih karena banyaknya penguat.

Syarah Kosa Kata.
(إِذَا دُبِغَ) : Proses menghilangkan busuk dan sifat basah dari kulit dengan dzat-dzat tertentu.  Dikenal dalam bahasa kita dengan menyamak. Menyamak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah memasak atau memproses kulit binatang agar menjadi berwarna, tahan lama dan halus.
(الإِهَابُ) : bentuk jama’nya adalah : (أُهُب) yaitu kulit sebelum disamak. Apabila telah disamak dinamakan Syannan atau Qirbah sebagaimana dijelaskan imam Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud 4/67). Sedangkan al-Azhuri menyatakan: Semua kulit menurut bangsa Arab adalah Ihaab (الإِهَابُ). (az-Zaahir hlm 99) . pendapat kedua ini dikuatkan dengan riwayat hadits Umar dalam shahih al-Bukhari. Ada lafazh :
 (فإذا أُهُبٌ معلقة..) (lihat fathul Baari 10/301)
(فَقَدْ طَهُرَ) : dibaca dalam dua bacaan : dengan didhommahkan huruf Ha’nya atau di fathahkan. Imam an-Nawawi merojihkan yang difathahkan. (al-majmu’ Syarah al-Muhadzdzab 1/79) maknanya bersih dari kotoran dan najis.
(طُهُوْرٌهَا) dengan dibaca dua bacaan: dengan dhommah huruf Tha’ nya atau difathahkan. Bila didhommahkan maknanya adalah mensucikannya dan dengan difathahkan bermakna alat pensucinya.
(لَوْ أَخَذْتُمْ إهَابَهَا) : kata (لَوْ) bisa bermakna berharap, bisa bermakna pemaparan atau kata syarat dengan dihapus jawabnya sehingga maknanya: Seandainya kalian mengambil kulitnya maka itu bagus. Demikian dijelaskan imam as-Sindi dalam hasyiyah beliau atas sunan an-Nasa’i 7/175).
(يُطَهِّرُهَا) : nampaknya kata gantinya kembali kepada bangkai. Kalau tidak demikian mestinya (يُطَهِّرُه). Para ulama memberikan alasan bahwa ini termasuk ada penghapusan Mudhaf asalnya adalah (يُطَهِّرُجِلْدَ الْمَيْتَةِ) atau yang dimaksud adalah jenisnya sehingga asalnya adalah  (يُطَهِّرُالأُهُبَ).
(الْقَرَظُ)  : daun salam atau bijinya yang sudah terkenal yang dikeluarkan dari kulit pembungkusnya. Namun nash ini tidak menunjukkan pembatasan namun sekedar contoh saja atau yang terkenal dizaman tersebut. Dalam zaman kita sekarang ini menyamak kulit yang ada di pabrik-pabrik menggunakan bahan-bahan kimia. Hal ini tidak mengapa dan boleh; karena maksudnya adalah menghilangkan sisa yang menempel dan mengeringkan kulit dari sifat basah, sehingga menggunakan apa saja asal maksudnya tersebut tercapai tidak mengapa.

Pengertian Umum Hadits-Hadits diatas.
Dari hadits-hadits diatas dapat dirinci makna umum setiap hadits sebagai berikut:
Hadits Ibnu Abbas berisi penjelasan Rasulullah bahwa semua kulit yang disamak maka menjadi suci. Keumuman ini mencakup seluruh hewan baik yang suci ketika hidupnya seperti onta, sapi dan kambing ataupun yang tidak suci seperti anjing dan babi. 
Sedangkan hadits Salamah dan Maimunah berisi penjelasan bahwa menyamak dapat mensucikan kulit bangkai yang menjadi halal dengan disembelih, yaitu semua hewan yang halal dimakan dagingnya. Beliau menanalogikan ad-Dabgh (penyamakan) dengan sembelihan. Sembelihan hanya berpengaruh pada hewan yang halal dimakan dagingnya. Demikian juga menyamak hanya bermanfaat dan bisa mensucikan pada kulit bangkai hewan yang halal dimakan dagingnya.
Dari sinilah terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang masalah ini.

FIQIH HADITS
1.        Najisnya bangkai berdasarkan ketegasan sabda Nabi di atas, bahwa menyamak kulit bangkai, berarti menyucikannya. Mafhumnya, kalau tidak disamak, maka kulit bangkai itu tetap dalam keadaan najis.
2.        Kulit bangkai apabila telah disamak menjadi suci.
3.        Cara menyamak kulit binatang :Terlebih dahulu hendaklah disiat (disisit) kulit binatang dari anggota badan binatang (setelah disembelih). Dicukur semua bulu-bulu dan dibersihkan segala urat-urat dan lendir-lendir daging dan lemak yang melekat pada kulit. Kemudian direndam kulit itu dengan air yang bercampur dengan benda-benda yang menjadi alat penyamak seperti asid dan bahan kimia sehingga tertanggal segala lemak-lemak daging dan lendir yang melekat di kulit tadi. Kemudian diangkat dan dibasuh dengan air yang bersih dan dijemur.
4.        Perkataan “Seekor kambing milik Maimunah telah mati”, kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Mengapakah kamu tidak memanfaatkan kulitnya, dst. ” itu, dimaksudkan bahwa menyamak untuk mensucikan kulit sama dengan penyembelihan untuk halalnya kambing, dan itu adalah termasuk tasybih baligh. Tasybih baligh dalam ilmu bayan adalah susunan yang isinya menyerupakan sesuatu dengan lain, tetapi alat dan wajah syibbhi-nya tidak disebut.
5.        Bolehnya menggunakan kulit bangkai yang sudah di samak pada barang-barang kering seperti gandum dan yang cair seperti air, susu, madu dan lain-lainnya, berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam:
«يطهره الماء والقرظ»
Air dan salam yang mensucikannya.
Apabila telah suci hukumnya maka hukumnya sama dengan benda-benda suci lainnya. Hal ini ternyata telah digunakan pada zaman Nabi sebagaimana dalam hadits Salamah bin al-Muhabbiq dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam tidak mengingkarinya.
6.        Menyamak menjadi pensuci kulit bangkai termasuk rahmat Allah kepada hambaNya agar orang yang membutuhkannya memanfaatkannya. 

Masail Hadits.
Ada beberapa masalah yang dapat diambil dari hadits-hadits diatas, diantaranya:
1. Hukum Kulit bangkai disamak.
Para ulama berselisih pendapat tentang dapatkah disucikan dengan disamak dalam tujuh pendapat.
Pendapat pertama:
Mereka menyatakan bahwa semua kulit bangkai dapat disucikan dengan disamak kecuali anjing dan babi serta hewan yang dilahirkan dari salah satu dari keduanya. Suci dengan disamak bagian luar dan dalamnya dan dapat dipergunakan pada benda yang kering dan basah (cair) serta tidak ada perbedaan antara hewan yang dibolehkan dimakan dagingnya dan yang dilarang. Ini adalah pendapat madzhab Syafi'I dan diriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib dan Ibnu Mas'ud (Lihat Al Minhaj Syarhu Shohih Muslim ibnu Al Hajaaj, imam Al Nawawi, 4/276,  Nailul Author Bi Syarhi Al Muntaqa Lil Akhbaar, Muhamad bin Ali Al Syaukani1/72), 
Ibnu Hajar Rahimahullah menyatakan: Al Imam Al Syafi'i rahimahullah mengecualikan anjing dan babi dan yang lahir dari peranakan keduanya, karena keduanya menurut beliau adalah najis a'iniyah (Fathul Bari 9/658).
Mereka mendasari pendapat ini dengan beberapa dalil diantaranya:
  1. hadits Ibnu Abas, beliau berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِشَاةٍ مَيِّتَةٍ فَقَالَ هَلَّا اسْتَمْتَعْتُمْ بِإِهَابِهَا قَالُوا إِنَّهَا مَيِّتَةٌ قَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا
Sesungguhnya Rasululloh shalallahu ‘alaihi wa salam melewati seekor bangkai kambing, lalu beliau berkata: mengapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya? Mereka menjawab: Itukan bangkai. Beliau menyatakan: Yang diharamkan hanya memakannya. (HR Al Bukhori, Kitab Al Buyu' bab Julud Al Maitah Qabla Al Dibaagh no. 2221) dalam riwayat imam Muslim ada tambahan redaksional:
 أَلاَ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ
Mengapa kalian tidak mengambilnya lalu kalian samak dan kalian manfaatkannya. (HR Muslim kitab Al Haidh bab Thaharotul Jild Al Maitah bi Dibaagh no. 808)
  1. hadits yang berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
Dari Abdullah bin Abas beliau berkata: Aku telah mendengar Rasululloh shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: Apabila kulit bangkai telah di samak maka telah suci. (HR Muslim kitab Al Haidh bab Thaharotul Jild Al Maitah bi Dibaagh no. 810)
  1. Hadits Salamah bin Al Mahabieq yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ أَتَى عَلَى بَيْتٍ فَإِذَا قِرْبَةٌ مُعَلَّقَةٌ فَسَأَلَ الْمَاءَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ دِبَاغُهَا طُهُورُهَا
Sesungguhnya Rasululloh shalallahu ‘alaihi wa salam dalam perang Tabuk mendatangi satu rumah yang ternyata ada kantung air yang tergantung, lalu beliau meminta air, lalu mereka berkata: Wahai Rasululloh sesungguhnya itu adalah bangkai. Maka beliau menjawab: Penyamakannya adalah penyuciannya. (HR Abu Daud dalam sunannya kitab Al Libas bab Fi Ihab Al Maitah no. 4125 dan dishohihkan Al Albani dalam shohih sunan Abu Daud dan Shohih sunan Al Nasaa'I no. 4243 dan 3957)
Bahkan Syeikh Al Albani menyatakan: Telah ada lima belas hadits tentang penyamakan kulit bangkai (الدباغ) yang telah disebutkan Al Syaukani dalam Nail Al Authaar (1/72),sebagiannya ada dalam shohihain dan riwayat tersebut sudah diakhrij dalam kitab Ghayah Al Maraam (25-29). (Silsilah Al Ahaadits Al Shohihah Wa Syai'un Min Fiqhiha Wa Fawaaidiha, 6/742 ketika berbicara tentang hadits no. 2812.)
  1. dikecualikan anjing dan babi karena keduanya adalah najis 'Ainiyah. (Nailul Author 1/72), Imam Syafi'I berdalil tentang pengecualian babi dengan firman Allah:
÷rr& zNóss9 9ƒÍ\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í 4
atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor (najis)- (QS. Al An'am 6:145)
dan menjadikan kata ganti (pada kata çm¯RÎ*sù) kembali kepada mudhof Ilaihi (kata9 ƒÍ\Åz  ). kemudian menganalogikan anjing dengan babi karena alas an sama-sama najis dan karena babi tidak memiliki kulit.(lihat Nailul Author 1/72)
Pengecualian anjing dan babi ini dibantah Al Syaukani dalam pernyataan beliau: pendalilan imam Asy- Syafi'i rahimahullah dengan ayat diatas untuk pengecualian babi dan analogi anjing kepada babi tidak sempurna kecuali setelah dipastikan benar masalah pengembalian kata ganti tersebut kepada mudhof ilaihi tidak kepada mudhof (yaitu kata zNóss9 (pen)). Ini adalah masalah yang masih diperselisihkan dan paling tidak masih ada kemungkinan yang rojih kata ganti tersebut kembali kepada Al Mudhof. Sesuatu yang belum pasti tidak bisa dijadikan hujjah atas orang yang menyelisihinya. Demikian juga masih boleh dikatakan bahwa kenajisan babi walaupun mencakup seluruhnya baik daging, rambut, kulit dan tulangnya dikhususkan dengan hadits-hadits penyamakan kulit (Al Dhibaagh).( lihat Nailul Author 1/73)
Imam Al Baihaqi merojihkan pendapat ini dan menyampaikan dalil penguat madzhab syafi'I tentang pengecualian anjing dengan dalil-dalil berikut (diringkas dari kitab Al Khilafiyaat, Abu Bakar Al Baihaqi, 1/223-245.):
  1. hadits Rafi' bin Khodij dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam , beliau bersabda:
شَرُّ الْكَسْبِ مَهْرُ الْبَغِيِّ وَثَمَنُ الْكَلْبِ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ
Penghasilan terburuk adalah mahar pezina, hasil penjualan anjing dan penghasilan tukang bekam (HR Muslim dalam shohihnya, kitab Al Musaaqah, Bab Tahriem Tsaman Al Kalbu no. 1568)
Al Baihaqi menyatakan: menyamak kulit anjing, menjualnya dan mengambil hasil penjualannya adalah usahanya untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan Rasululloh shalallahu 'alaihi wa sallam menamakannya penghasilan terburuk
  1. hadits Usamah bin Umair yang berbunyi:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ جُلُودِ السِّبَاعِ
Sungguh Nabi n telah melarang dari kulit binatang buas. (HR Al Nasa'I dan Al Baihaqi dan dishohihkan sanadnya oleh Syeikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Al Shohihah no. 1011)
imam Al Baihaqi menyatakan: mungkin mereka berdalil dengan keumuman hadits:
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
Semua kulit bangkai yang disamak maka telah suci. Diriwayatkan imam Muslim dalam shohihnya dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam dengan lafazh:
إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
Ini difahami pada selain kulit anjing dengan dalil hadits Raafi' radhiyallahu 'anhu dan selainnya , karena ini khusus dan itu umum dan yang khusus mengalahkan yang umum.( Al Khilafiyaat 1/243)
Demikian juga syeikh Masyhur Hasan Salman merojihkan pendapat Al Baihaqi (Al Khilafiyaat 1/243)

Pendapat kedua:
Menyatakan bahwa kulit bangkai tidak dapat disucikan dengan disamak. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Al Khothob, Abdullah bin Umar, A'isyah dan riwayat yang termasyhur dari Ahmad dan salah satu riwayat dari Malik.( Lihat Syarah Shohih Muslim 4/276) Bahkan inilah yang dijadikan pendapat madzhab Ahmad bin Hambal (lihat Syarhul Mumti' 1/70).
Mereka berdalil dengan hadits Abdullah bin 'Ukaim yang berbunyi:
لاَ تَنْتَفِعُوْا مِنَ الْمَيِّتَةِ بِإِهَابٍ وَ لاَ عَصَبٍ
Janganlah memanfaatkan bagian bangkai baik kulit ataupun persendiannya.( HR Ahmad dalam Musnadnya 4/310, Abu Daud no. 4128, Al tirmidzi no, 1729 dan dishohihkan Al Albani dalam Irwa' Al Gholil no. 38 dan silsilah Al Shohihah no. 2812)
Syeikh Al Albani menukil pernyataan Sholih anak imam Ahmad dari kitab Masaa'il (Hal. 160): Ayahku berkata: Allah telah mengharamkan bangkai, lalu kulitnya adalah bagian dari bangkai dan aku memegang hadits Ibnu 'Ukaim yang mudah-mudahan shohih (berbunyi):
لاَ تَنْتَفِعُوْا مِنَ الْمَيِّتَةِ بِإِهَابٍ وَ لاَ عَصَبٍ "
Imam Ahmad menyatakan: Dan aku tidak memiliki satu hadits shohihpun dalam masalah penyamakan kulit dan hadits Ibnu 'Akiemlah yang paling shohih.(Lihat Silsilah Al Ahaadits Al Shohihah 6/742 ketika berbicara tentang hadits no. 2812).
Pendapat inipun menyatakan bahwa bangkai adalah najis 'ainiyah yang tidak mungkin disucikan seperti kotoran keledai seandainya dicuci dengan air selaut tentu tidak akan suci.
Syeikh Ibnu Utsaimin menjawab bahwa ini adalah qiyas (analogi) yang menentang nash yaitu hadits Maimunah (Lihat Syarhul Mumti' 1/70).
Namun mereka menjawab bahwa hadits Maimunah tersebut telah dinasakh (dihapus hukumnya) oleh hadits Abdullah bin 'Ukaim.
Inipun dijawab oleh Syeikh Ibnu Utsaimin dengan beberapa jawaban:
  1. Hadits ini lemah sehingga tidak dapat menghadapi hadits yang shohih.
  2. Hadits ini tidak dapat dijadikan penghapus hukum (Naasikh), karena kita tidak mengetahui peristiwa kambing dalam hadits Maimunah terjadi sebulan sebelum beliau meninggal atau beberapa hari? Padahal diantara syarat nasakh adalah jelas diketahui waktu peristiwanya.
  3. Seandainya dapat dipastikan bahwa hadits ini terjadi lebih akhir, maka inipun tidak menentang hadits Maimunah, karena sabda Rasululloh shalallahu ‘alaihi wa salam :
 لاَ تَنْتَفِعُوْا مِنَ الْمَيِّتَةِ بِإِهَابٍ وَ لاَ عَصَبٍ
Difahami bahwa kata إِهَابٍ adalah kulit bangkai sebelum disamak dan dengan demikian dapat dikompromikan antaranya dengan hadits Maimunah.(lihat Syarhul Mumti' 1/71-72). Sedang Syeikh Al Albani menyatakan: Yang paling benar adalah pendapat yang menyatakan pengertian إِهَابٍ adalah kulit bangkai yang belum disamak.( lihat Silsilah Al Ahadits Shohihah 6/742.)

Pendapat ketiga:
Menyatakan bahwa yang dapat disucikan dengan disamak hanya kulit bangkai hewan yang diperbolehkan dimakan dagingnya. Ini madzhab Al Auza'I, Ibnu Al Mubarak. Abu Tsaur dan Ishaaq bin Rahuyah (Lihat Syarah Shohih Muslim 4/276).
Mereka bersandar kepada kekhususan sebab (wurud hadits) tersebut, sehingga membatasi kebolehan hanya kepada hewan yang dibolehkan dimakan dagingnya, karena adanya penyebutan bangkai kambing (dalam hadits) dan ini dikuatkan dengan pandangan bahwa penyamakan tidak menambah kesucian melebihi penyembelihan dan hewan yang dilarang dimakan dagingnya seandainya disembelihpun maka tidak akan suci dengan sembelihan tersebut menurut mayoritas ulama, maka demikian juga penyamakan (lihat fathul Bari  9/659).
Hal ini dibantah Al Syaukani dengan menyatakan bahwa keumuman hadits-hadits penyamakan tidak dapat dibatasi hanya pada sebabnya, sehingga tidak benar bersandar kepada sebab wurud hadits yang berupa kambing Maimunah.( Nailul Author 1/73)
Ishaq bin Rahuyah menyatakan: Pengertian sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam : أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ adalah hewan yang dimakan dagingnya, demikianlah ditafsirkan oleh Al Nadhor bin Syumail. Ishaaq menyatakan bahwa Al Nadhor bin Syumail menyatakan: Dikatakan إِهَاب untuk kulit hewan yang dimakan dagingnya (disampaikan At-Tirmidzi dalam sunannya pada kitab Libas bab Ma Ja'a Fi Julud Al Maitah Idza Dubighat, lihat Tuhfat Al Ahwadzi 5/401).
Tentang penukilan dari Al Nadhor bin Syumail dibantah Al Syaukani dengan pernyataan beliau: Ini menyelisihi yang disampaikan Abu Daud dalam sunannya bahwa Al Nadhor menyatakan: Dinamakan Ihaab (إِهَابٍ) adalah yang belum disamak, apabila telah disamak maka namanya Syanan dan Qirbah (lihat Tuhfah Al Ahwadzi 5/401).
Dalam hadits Maimunah dan Salamah bin Muhabbiq dijelaskan bahwa samak diserupakan dengan sembelihan. Padahal sembelihan hanya berfungsi pada hewan yang halal dimakan dagingnya demikian juga samak, karena yang menyerupai disamakan dengan yang diserupai (المشبه يأخذ حكم المشبه به)
Pendapat inilah yang dirojihkan Syeikhul Islam (Majmu’ al-Fatawaa 21/95), Syeikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (Al-Mukhtaraat al-Jaliyyah hlm 11) dan Syeikh Bin Baaz  serta Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 
Syeikh Muhammad bin Utsaimin dalam pernyataan beliau: Yang rojih adalah pendapat ketiga dengan dasar sebagian lafadz hadits yang berbunyi:
دِبَاغُهَا ذَكَاتُهَا
Diungkapkan dengan penyembelihan (ذكاة). Sudah dimaklumi penyembelihan hanya menyucikan yang diperbolehkan dimakan dagingnya. Sehingga seandainya kamu menyembelih seekor keledai dengan menyebut nama Allah dan menumpahkan darahnya, maka tidak dinamakan penyembelihan (Syar'i). Dengan dasar ini kami berpendapat bahwa kulit bangkai hewan yang dilarang dagingnya dimakan walaupun ia suci dimasa hidupnya, maka tidak dapat disucikan dengan disamak. Alasannya hewan-hewan yang suci dimasa hidupnya tersebut dijadikan suci karena sulit menghindarinya dengan dasar sabda Rasululloh shalallahu ‘alaihi wa salam  :
إِنَّمَا مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ
Sesungguhnya ia dari yang mengelilingi kalian.
Illah (sebab hokum) ini hilang dengan kematian, sehingga kembali kepada asalnya yaitu najis sehingga tidak dapat disamak. Sehingga pendapat yang rojih adalah semua kulit bangkai hewan yang dibolehkan dimakan dagingnya dapat disucikan dengan disamak. Ini adalah salah satu pendapat Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.( Syarhul Mumti' 1/75)
Adapun yang tidak halal dengan sembelihan maka tidak suci juga dengan di samak walaupun dalam masa hidupnya hewan suci seperti kucing, karena sembelihan tidak dapat menghalalkannya.

Pendapat keempat:
Menyatakan bahwa semua kulit bangkai dapat disucikan dengan disamak kecuali babi. Ini adalah madzhab Abu Hanifah (lihat Syarhu Shohih Muslim 4/276 dan Al Majmu' 1/275).
Mereka berhujjah dengan dalil-dalil pendapat pertama dengan tanpa menganalogikan anjing dengan babi. Imam Nawawi menyatakan: Kami dan kalian sepakat mengeluarkan babi dari keumuman (hadits-hadits penyamakan) dan anjing sama dengannya juga (Al Majmu' Syarhul Muhadzab, Al Nawawi, 1/275).

Pendapat kelima:
Menyatakan bahwa semua kulit bangkai dapat disucikan dengan disamak, namun hanya bagian luarnya dan tidak bagian dalamnya, sehingga tidak dapat digunakan untuk benda cair. Ini madzhab Malik yang masyhur (lihat Syarhu Shohih Muslim 4/276 dan Al Majmu' 1/275)
Mereka menyatakan bahwa penyamakan hanya berpengaruh pada bagian luar saja. Hal ini dibantah dengan keumuman hadits-hadits penyamakan kulit bangkai yang mencakup bagian luar dan dalamnya. Oleh karena itu Ibnu Hajar menyatakan: dan demikian juga (telah keliru) orang yang memahami larangan tersebut untuk bagian dalam dan dapat disucikan bagian luarnya. (Fathul Bari 9/659).

Pendapat keenam:
Menyatakan semua kulit bangkai dapat disucikan dengan disamak tanpa pengecualian. Ini pendapat madzhab Dzohiriyah dan Abu Yusuf.( lihat Syarhu Shohih Muslim 4/276 dan Al Majmu' 1/275)
Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa penyamakan dapat mensucikan kulit bangkai. Mereka menyatakan bahwa hadits-hadits tersebut bersifat umum mencakup seluruh binatang. Inilah pendapat yang dirojihkan Al Syaukani. Beliau menyatakan bahwa pendapat inilah yang rojih karena hadits-hadits tentang penyucian kulit bangkai dengan disamak tidak membedakan antara anjing dan babi dengan selainnya.( Nailul Author 1/73.)
Imam asy-Syaukani juga menyatakan:
فالحق أن الدباغ مطهر، ولم يعارض أحاديثه معارض، من غير فرق بين ما يؤكل لحمه وما لا يؤكل، وهو مذهب الجمهور
Yang benar adalah samak itu mensucikan dan tidak ada penentang yang menentang hadits-haditsnya. Ini tanpa membedakan antara yang halal dimakan dagingnya dan yang tidak halal dimakan. Inilah madzhab Jumhur.
Juga beliau menyatakan:
إنه تقرر في الأصول أن العام لا يُقصر على سببه، فلا يصح تمسكهم بكون السبب شاة ميمونة
Telah jelas dalam ilmu ushul fikih bahwa dalil umum tidak dibatasi dengan sebab, sehingga tidak sah mereka berpegang dengan sebab kambing Maimunah. (Nailul Authar 1/78)

Pendapat ketujuh:
Menyatakan diperbolehkan memanfaatkan kulit bangkai walaupun tidak disamak dahulu. Ini pendapat Al Zuhri (aun). Beliau mengambil kemutlakan bolehnya memanfaatkan kulit bangkai baik yang telah disamak atau belum dari hadits Ibnu Abas yang tidak menyebutkan adanya perintah penyamakan.
Pendapat ini dibantah dengan adanya hadits yang menjelaskan penyamakan seperti hadits Maimunah, A'isyah dan Salamah bin Al Mahieq serta yang lain-lainnya. Oleh karena itu Al Syaukani menyatakan: Tampaknya belum sampai kepada Al Zuhri riwayat lain dan hadits-hadits yang lainnya.( Nailul Authar 1/74)

Pendapat Yang Rajih
Yang rojih menurut penulis adalah pendapat yang umum pada semua kulit bangkai sebagaimana dirojihkan imam asy-Syaukani. Pensucian tidak terkait langsung dengan pemakaian.
Wallahu A'lam.


2. Hukum memakan kulit bangkai yang telah disamak.
                Kulit bangkai yang telah disamak hukumnya suci, namun dilarang dimakan, dengan dasar hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma yang berbunyi:
مَاتَتْ شَاةٌ لِسَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاتَتْ فُلَانَةُ يَعْنِي الشَّاةَ فَقَالَ فَلَوْلَا أَخَذْتُمْ مَسْكَهَا فَقَالَتْ نَأْخُذُ مَسْكَ شَاةٍ قَدْ مَاتَتْ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قُلْ لَا أَجِدُ فِيمَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّكُمْ لَا تَطْعَمُونَهُ إِنْ تَدْبُغُوهُ فَتَنْتَفِعُوا بِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهَا فَسَلَخَتْ مَسْكَهَا فَدَبَغَتْهُ فَأَخَذَتْ مِنْهُ قِرْبَةً حَتَّى تَخَرَّقَتْ عِنْدَهَا
Kambing Saudah bintu Zam'ah mati, lalu ia berkata: Wahai Rasululloh! Fulanah –yaitu kambing- telah mati. Lalu beliau bersabda: Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya? Ia menjawab: Apakah boleh kami mengambil kulit kambing yang telah mati (menjadi bangkai). Maka Rasululloh shalallahu alaihi wa sallama berkata kepadanya: Allah telah berfirman:
Katakanlah:"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi  (QS. 6:145)
Sungguh kalian tidak memakannya apabila disamak, namun kalian dapat memanfaatkannya. Maka ia (Saudah) menyuruh orang mengambilnya dan menguliti kulitnya lalu ia samak dan membuat darinya kantong air (Qirbah) berada padanya hingga robek (HR Ahmad dan dinyatakan sanadnya shohih oleh Majduddin Ibnu Taimiyah dalam Al Muntaqa Al Akhbar) (lihat Nailul Author 1/75)
Al Syaukani menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan larangan memakan kulit bangkai dan penyamakan walaupun menyucikannya namun tidak menghalalkan memakannya. Diantara dalil yang menunjukkan larangan memakannya adalah sabda Rasululloh n dalam hadits Ibnu Abas:
إِنَّمَا حَرُمَ مِنَ الْمَيْتَةِ أَكْلُهَا
Yang diharamkan dari bangkai adalah memakannya.
Ini termasuk yang tidak aku ketahui ada perselisihannya.( Nailul Author 1/75.)
Demikian selintas permasalah memanfaatkan kulit bangkai menurut pendapat para ulama, Mudah-mudahan bermanfaat. Wabillahi Al Taufiq

3. Apakah kulit Bangkai menjadi suci dengan sekedar disamak atau harus dicuci dulu dengan air?
Ada dua pendapat yang disampaikan imam ibnu Qudamah dalam al-Mughni (1/95) dan selainnya:
pendapat pertama: Tidak suci dengan sekedar di samak tapi harus dicuci dulu dengan air. Oleh karena itu Nabi menjelaskan daam hadits Maemunah radhiyallahu 'anha:
يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ
sehingga pengertiannya dicuci dengan air dulu baru disamak dengan qarazh.
demikian juga bahan yang dipakai untuk mensamak akan menjadi najis bila bercampur dengan kulit bangkai yang najis sehingga tidak bisa mensucikannya kecuali dengan menghilangkannya dengan dicuci dan sejenisnya.

pendapat kedua: Suci dengan sekedar disamak berdasarkan hadits Ibnu Abbas diatas yang berbunyi:
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
Semua kulit bangkai yang di samak maka telah suci.

pendapat yang rojih adalah pendapat yang pertama karena samak akan mensucikan dzat dan benda kulitnya dan sisa bahan-bahan yang terkena najis butuh dihilangkan sebagaimana bila terkena najis sebelum di samak. Wallahu A'lam.

0/Post a Comment/Comments

Partner

Your Ads Here
73745675015091643
Your Ads Here
Your Ads Here

Translate