FmD4FRX3FmXvDZXvGZT3FRFgNBP1w326w3z1NBMhNV5=
Your Ads Here
items

mengenai hadist Kitab ath-thaharoh


Kitab ath-thaharoh (كتاب الطهارة)
Imam Ibnu Hajar memulai kitab beliau “Bulughulmaram” dengan kitab ath-thaharoh sebagaimana para ulama lainnya dalam menulis kitab-kitab fikih. Para ulama mendahulukan kitab Thaharah karena beberapa alasan, diantaranya:
a.       Hadits-hadits shahih dari Rasulullah seputar syiar-syiar islam dimulai dengan sholat, lalu zakat, puasa dan haji setelah syahadatain. Seperti disebutkan dalam hadits  Abdillah bin Umar yang berbunyi:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ » .
Rasulullah telah bersabda: Islam dibangun diatas lima rukun; syahadatain, menegakkan sholat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan (Muttafaqun ‘alihi)
Disini shalat menjadi rukun pertama yang bersifat amaliyah sehingga didahulukan dari selainnya. Namun sholat memiliki kunci yang menjadi syarat sahnya yaitu thaharah. Karena itu Rasulullah bersabda:
« مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ »
Kunci pembuka shalat adalah thaharoh dan pengharamnya adalah takbir dan pembubarnya (penutupnya) adalah taslim (baca salam). (HR at-tirmidzi dan dishahihkan al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi).
Thaharah menjadi syarat sah sholat yang terpenting sebagaimana dijelaskan Allah dalam firmanNya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَايُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-maaidah/5:6)
 Nabi pun bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah tidak menerima sholat salah seorang kalian apabila berhadats hingga berwudhu.
b.       Thaharah adalah takhliyah (pensucian atau pengosongan), karena ia adalah pembersihan dan pensucian. Dikatakan para ulama “at-takhliyah qabla at-tahliyah (Pemurnian sebelum penghiasan)”.
c.        Thaharah adalah syarat sah shalat yang paling banyak rincian dan cabang permasalahannya.
Karena itulah para ulama penulis kitab fikih mendahulukan kitab at-thaharaoh atas selainnya.
Imam ash-Shan’ani berkata: “Beliau (ibnu Hajar) memulai dengan (kitab) thaharah karena mengikuti tata cara para penulis (buku fikih) dan untuk mendahulukan perkara agama dari selainnya. Juga untuk memperhatikan amalan yang terpenting, yaitu shalat. Ketika thaharah menjadi salah satu syarat shalat, maka beliau memulai dengannya. Kemudian ketika air adalah yang diperintahkan secara asal untuk dijadikan alat bersuci maka beliau dahulukan juga”. (Subulus salam 1/80).
Demikian juga imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani menjelaskan sebab didahulukannya kitab ath-thaharah dari yang lainnya dalampenulisan kitab fikih dengan menyatakan: “ketika kunci shalat yang merupakan tiang agama maka para penulis kitab fikih membuka karya tulis mereka dengannya”. (Nailul Authaar 1/23).
Pernyataan imam ibnu Hajar : (كتاب الطهارة)     terdiri dari dua kosa kata yaitu: kata (كتاب) dan kata (الطهارة)  .
Pengertian kata kitab.
Kata (كتاب) dalam bahasa arab adalah mashdar dari kata (كَتَبَ – يَكْتُبُ – كِتَابًا وَ كِتَابَةً وَ كُتْبًا ) . susunan kata dari huruf tiga ini memiliki pengertian kumpul atau bersatu. Diantara pengertian ini adalah pernyataan: (اكتتب بنو فلان) apabila berkumpul dan (الكتيبة ) bermakna kumpulan kuda perang dan (الكتاب) karena berkumpulnya kata-kata dan huruf. Dinamakan sebagai kitab karena mengumpulkan yang diletakkan padanya. (fathulMajid tahqiq Asyraf Abdulmaqshud 1/17)
Kitab dalam istilah para ulama adalah semua yang ditulis diatas kertas untuk disampaikan kepada orang lain atau yang ditulis untuk menjaga dari kelupaan. Namun kata kitab juga digunakan para ulama untuk semua yang menyatukan beberapa bab pembahasan dan fasal (lihat Taudhih al-Ahkaam 1/113 dan Nailulauthar 1/23)
Penggunaan yang kedua inilah yang dimaksudkan dari pernyataan ibnu hajar : Kitab at-Thaharah.
Pengertian kata Thaharah dan Pembagiannya.
Sedangkan pengertian Thaharah dalam bahasa arab memberikan pengertian kebersihan dan kesucian dari kotoran baik yang berujud dzat (Hissiyah) atau yang ma’nawiyah. (taudhih al-Ahkaam 1/113 dan master textbook GHDT 5083 hlm 10). Diantara kotoran yang bewujud (Hissiyah) adalah kencing dan tinja. Sedangkan contoh yang ma’nawiyah adalah syirik dan semua kebejatan akhlak.   
Dengan demikian thaharah terbagi menjadi dua;
Pertama: Thaharoh ma’nawiyah yang ada di kalbu, seperti dijelaskan dalam firman Allah :
أُوْلاَئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْي وَلَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمُ
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan didunia dan diakhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS. 5:41)
Juga dalam firmanNya:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta'atilah Allah dan Rasul-Nya.Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. 33:33)
Thaharah ma’nawiyah ini menjadi bagian dari ilmu aqidah.
Kedua: Thaharah Hissiyah. Ini yang menjadi bagian dari pembahasan ilmu fikih yang menjadi tujuan penulisan kitab bulughulmaram.
Tentang pembagian Thaharah ini, syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menyatakan: Thaharah dalam syariat digunakan untuk dua pengertian:
a.       Thaharah qalbu (pensucian kalbu) dari kesyirikan dalam ibadah, sikap benci dan permusuhan kepada hamba Allah yang mukmin. Ini lebih penting daripada thaharah badan, bahkan tidak mungkin thaharah badan terlaksanakan dengan adanya kotoran syirik. Allah berfirman:
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَس
Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis (QS. 9:28)
Nabi pun bersabda :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ
Sesungguhnya mukmin itu tidak najis (Muttafaqun ‘alaihi).
b.       Thaharah hissiyah (thaharah badan). (Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zaad al-Mustaqni’ 1/25).
Thaharoh Hissiyah atau thaharah badan ini didefinisikan para ulama fikih dengan:
اِرْتِفَاعُ الحَدَثِ بِالْمَاءِ أو التُرَابِ الْمُطَهِّرَيْنِ وَ فِيْ مَعْناه وَ زَوَال النَّجَسِ
 Mengangkat hadats dengan air atau debu yang mensucikan dan yang semakna (dgn pengangkatan hadats) dengannya serta menghilangkan najis.  Dari definisi ini ada beberapa istilah yang perlu dijelakan:
a.       (اِرْتِفَاعُ الحَدَثِ بِالْمَاءِ أو التُرَابِ الْمُطَهِّرَيْنِ)  Hadats adalah sifat yang ada dalam badan mencegah dari shalat dan sejenisnya yang disyaratkan padanya thaharah. Sehingga mengangkat hadats adalah menghilangkan sifat hukum tersebut. Mengangkat hadats ini dapat dilakukan dengan air dan debu. Mengangkat hadats dengan menggunakan air pada wudhu dan mandi dan menggunakan debu dalam tayammum.
b.       (وَ فِيْ مَعْناه) maksudnya adalah bersuci yang dianjurkan namun tidak dalam rangka mengangkat hadats seperti memperbaharui wudhu orang yang belum batal wudhunya dan mandi-mandi sunnah.
c.        (وَ زَوَال النَّجَسِ) bermakna hilangnya najis. Penggunaan kalimat (hilangnya najis) lebih umum dari kalimat menghilangkan najis (إزالة النَّجَسِ), karena kata menghilangkan () merupakan perbuatan mukallaf. Sedangkan kata hilangnya najis bisa dengan perbuatan mukallaf dan bisajuga perbuatan yang lain, seperti seandainya turun hujan ditanah yang terkena najis atau mengenai pakaian yang terkena najis sehingga hilang najisnya, maka itu membuatnya suci, sebab dalam menghilangkan najis tidak disyaratkan niyat .
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa thaharoh badan terbagi menjadi dua:
1.       Thaharoh dari hadats. Thaharah dari hadats ini terbagi menjadi dua; thaharah dari hadats kecil dengan wudhu atau penggantinya yaitu tayammum dan thaharah dari hadats besar dengan mandi wajib atau penggantinya yaitu tayammum. 
2.       Thaharah dari najis.
Thaharah badan ini membutuhkan alat dan sarana yang digunakan untuk bersuci, menghilangkan najis dan mengangkat hadats. Alat yang dijelaskan Allah sebagai alat bersuci adalah air[1], seperti dalam firman Allah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَايُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-maaidah/5:6)
Karena itulah imam Ibnu hajar mengedepankan permasalahan air dalam kitab thaharah ini, dengan menyatakan: (باب المياه) yaitu bab tentang air.
Imam an-nawawi menjelaskan tentang urutan ini dalam pernyataan beliau: “Para penulis kitab fikih memulai dalam kitab-kitab fikih dengan kitab thaharah kemudian bab tentang air (باب المياه)  karena keselarasan yang indah dan mengamalkan hadits Nabi n yang diriwayatkan imam al-bukhori dan Muslim dari hadits Ibnu Umar bahwa Rasulullah pernah bersabda:
« بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ » .
Islam dibangun diatas lima rukun; syahadatain, menegakkan sholat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan (Muttafaqun ‘alihi). (disini) Rasulullah memulai setelah iman dengan shalat, sehingga mendahulukan sholat lebih penting menurut para penulis tersebut dalam kitab-kitab fikih”. (al-majmu’ Syarhu al-Muhadzdzab 1/80).

Definisi Bab
Bab (باب) dalam bahasa arab bermakna tempat masuk kedalam sesuatu. Bab ini ada dua macam: hissiy seperti Bab al-bait (pintu Rumah) dan maknawi adalah bab pembahasan yang merupakan kumpulan daripada fasal-fasal (sub pokok bahasan) atau kumpulan yang khusus dari ilmu yang secara umum berisi fasal-fasal. Hal  ini dinamakan Bab karena ia menjadi tempat masuk dalam mengenal hukum-hukum tentang air. Segala sesuatu akan baik bila dimasuki lewat pintunya, seperti dijelaskan dalam firman Allah :
وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS. Al-baqarah/2:189)
Inilah yang diinginkan imam Ibnu Hajar dalam pernyataan beliau diatas.

Definisi Air (المياه)
Al-Miyaah adalah kata dalam bentuk plurals dalam bahasa Arab berasal dari kata (الماء) yang berarti air dan digunakan untuk jumlah air yang sedikit atau banyak. Air sendiri adalah benda yang sudah terkenal dan semua orang selalu membutuhkannya. Air ini beragam ditinjau dari sumbe[2]rnya; ada air laut, mata air, sungai dan lain-lain. Sehingga imam ibnu hajar disini menyampaikannya dalam bentuk plurals karena tinjauan jenis-jenisnya.
Syeikh Abdullah al-fauzan menjelaskan hal ini dengan menyatakan: “Dibuat dalam bentuk jama’ walaupun isim jenis untuk menunjukkan keanekaragaman jenis air, seperti air laut, sungai dan hujan. Ada juga jenis2z air yang suci dan yang najis. Sehingga dibuat bentuk jamak karena tinjauan ini”. (Minhatul’alaam Syarhu Bulugh al-maram 1/22). 
Lalu beliau menyampaikan hadits pertama dalam bab tentang air.

 Kesucian Air laut

1. عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، في البَحْرِ: هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ أَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِيْذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ.
1.                  Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang (hukum) air laut: “Air laut itu suci, (dan) halal bangkainya.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidziyy, Nasaa-i, Ibnu Majah, dan Ibnu Abi Syaibah, dan ini merupakan lafazhnya, dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, dan Tirmidziyy dan telah diriwayatkan pula oleh Malik, Syafi’i dan Ahmad.

Penjelasan Hadits.
Hadits ini akan dijelaskan dalam beberapa sub bahasan:

Biografi Perawi Hadits.

Perawi hadits ini adalah sahabat Nabi yang mulia Abu Hurairoh Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausi yang terkenal dengan kunyah beliau “Abu Hurairoh”. Beliau masuk islam pada tahun peristiwa perang Khaibar dan mulazamah (belajar) kepada Nabi sehingga menjadi sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits Nabi.
Beliau menjadi salah satu ulama besar dan ahli fatwa dikalangan sahabat dan terkenal dengan kewibawaan, ibadah dan sifat rendah hatinya. Imam al-Bukhori menyatakan, beliau memiliki delapan ratus murid atau lebih. Beliau meninggal dunia di kota Madinah pada tahun 57 H dan dimakamkan di pekuburan Baqi’.

Takhrij Hadits.

Sebelum memulai dengan penjelasan takhrij hadits ini, perlu kiranya disampaikan sedikit tentang pengertian takhrij dan pembagian hadits menurut kreteria diterima atau tidak..

Pengertian Takhrij
Takhrij menurut bahasa mempunyai beberapa makna. Yang paling mendekati di sini adalah berasal dari kata kharaja ( خَرَجَ ) yang artinya nampak dari tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj ( اْلِإخْرَج ) yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya. Dan al-makhraj ( المَخْرَج ) artinya tempat keluar; dan akhrajal-hadits wa kharrajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.
Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadits tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.

Hadits yang sedang kita bahas ini dikeluarkan oleh Malik di Muwath-tho’nya (I/45 –Tanwiirul Hawalik syarah Muwath-tho’ oleh Suyuthi), Syafi’iy di kitabnya Al Umm (I/16), Ahmad di Musnadnya (2/232,361), Abu Dawud dalam sunannya (no: 83), Tirmidziy (no: 69), Nasaa-i dalam sunannya (1/50, 176), Ibnu Majah dalam sunannya (no: 43), Ad Darimi dalam sunnanya (1/186), Ibnul Jaarud dalam al-Muntaqaa’ (no: 43), Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahih ibnu Khudzaimah (no: 777), Ibnu Hibban dalam shahihnya (no: 119 –Mawarid), Hakim dalam al-mustadrak (1/140-141), ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (1/131) dan lain-lain, semuanya dari jalan imam Malik dari Sofwan bin Sulaim dari Sa’id bin Salamah (ia berkata:) sesungguhnya Mughirah bin Abi Burdah telah mengabarkan kepadanya, bahwasanya ia pernah mendengar Abu Hurairah berkata:
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيْلُ مِنَ الْمَاءِ إِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَـتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هُوَ الطُّهُوْرُ مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ.
“Telah bertanya seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ya Rasulullah, kami akan berlayar di lautan dan kami hanya membawa sedikit air, maka kalau kami berwudlu dengan mempergunakan air tersebut pasti kami akan kehausan, oleh karena itu bolehkah kami berwudlu dengan air laut? Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Laut itu suci airnya, (dan) halal bangkainya.”
Hadits ini shahih dan semua perawinya tsiqah (kredibel) dan termasuk para perawi shahih al-Bukhori dan Muslim (asy-Syaikhan), kecuali al-Mughiroh bin Abi Burdah. Beliau ini dihukumi tsiqah oleh imam an-Nasaa’i dan dimasukkan ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqaat.
Hadits ini telah di-shahih-kan oleh jama’ah ahli hadits, diantaranya:
1.       Imam al-Bukhari, ketikaditanya oleh imam at-tirmidzi tentang hadits ini, sebagaimana dalam kitab al-‘Ilal al-Kubra (1/136). Imam at-tirmidzi berkata: Aku bertanya kepada Muhammad tentang hadits Maalik dari Shafwaan bin Sulaim dari Sa’id bin Salamah bahwasanya al-Mughirah bin Abi Burdah menceritakan kepadanya bahwa beliau mendengar Abu Hurairah berkata: Seorang bertanya…(disampaikan hadits tersebut). Maka imam al-Bukhari menjawab : hadits ini shahih. (lihat juga Syarah al-‘Ilaa karya Ibnu Rajab 2/574 dan Nashbu ar-raayah 1/96).
2.      Imam at-Tirmidziy, seperti yang beliau katakan dalam sunannya 1/100-101: hadits ini hasan shahih.
3.       Imam Ibnu Khuzaimah, seperti dalam kitab Shahih ibnu Khuzaimah 91/58-59).
4.       Imam Ibnu Hibbanseperti disampaikan dalam al-Ihsaan fi tartib shahih ibni Hibban no. 1243..
5.     Imam al-Hakim, dinukil penilaian beliau oleh al-Haafizh Ibnu Hajar dalam Tahdzib at-Tahdzib 10/230 pada biografi al-Mughiroh bin Abi Burdah. Al-Haafizh berkata: Hadits beliau tentang air laut dishahihkan oleh ibnu Khuzaimah, ibnu Hibaan, Ibnu al-Mundzir, al-Khathaabi, ath-Thahawi, ibnu Mandah, al-Haakim, ibnu Hazm, al-Baihaqi dan Abdulhaq.
6.      Ath-Thahawi, seperti dinukil oleh al-Hafizh diatas.
Penukilan penshahihan hadits ini dari ath-Thahawi oleh ibnu Hajar menyelisihi pernyataan beliau di kitab Musykil al-Atsar (10/202 no. 4032) dan Mukhtashar Ikhtilaaf al-Ulama (3/216 no. 1315) yang melemahkan hadits ini.
7.     Al-Baihaqi, beliau sampaikan dalam kitab Ma’rifah assunan (1/152) dengan menyatakan: Hadits shahih sebagaimana dinyatakan imam al-bukhari.
8.     Ad-Daraquthni, seperti yang beliau katakan di kitab al-‘Ilal (9/13): Riwayat yang benar adalah riwayat Maalik dan yang mengikutinya dari Shofwan bin sulaim.
9.      Ibnu Abdilbarr dalam at-Tamhied 16/218-219: Hadits ini menurutku shahih, karena para ulama telah menerima hadits ini dan beramal dengannya. Tidak ada seorang ahli fikih pun yang menyelisihinya secara umum.
10.  Ibnul Mundzir, seperti dalam al-Ausaath 1/247, beliau berkata: Telah sah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda tentang air laut: “Suci airnya dam halal bangkainya”.
11.  Ibnu Hazm seperti dinukil oleh al-Haafizh diatas
12.    Ibnu Mandah. Seperti disampaikan ibnu Daqiq al-Id dalam al-Imaam (1/99).
13.    Al Baghawiy. Seperti dalam Syarhu as-Sunnah 2/55
14.    Al-Khathabi seperti dinukil oleh al-Haafizh diatas
15.    Abdulhaq al-Isybili seperti dinukil oleh al-Haafizh diatas
16.    An-Nawawi, seperti yang ada di kitab al-majmu’ Syarhul Muhadzab 1/127)
17.    Ibnu Daqiq al-Id dalam al-Ilmaam 1/181
18.    Ibnu Taimiyah
19.    Ibnu Katsir.
20.    Ibnul Qayyim
21.    Adz-Dzahabi
22.    Ibnul Atsir, ia berkata: ini hadits yang shahih lagi masyhur, telah dikeluarkan oleh para imam di kitab-kitab mereka, dan mereka telah berhujjah dengannya dan rawi-rawinya tsiqaat.
23.    Ibnu Hajar
24.    Ibnu al-Mulaqqin dalam al-Badrulmunir Fi takhrij Ahaadits asy-Syarhi al-Kabir 3/354-355).
25.    Badruddin al-‘Aini
26.    Az-Zaila’I dalam nashbur Raayah 1/96
27.    Ash-Shan’ani dalam Subulussalam
28.    Asy-Syaukani dalam Nail al-Authar
29.    Al Albani, beliau menyatakan: ini sanadnya shahih semua perawinya tsiqah (kredibel). (irwa’ al-Ghalil 1/43)
Namun ada beberapa ulama yang mendhaifkan hadits ini, diantaranya imam asy-Syafi’I, imam ath-Thahawi dan lain-lainnya berdasarkan alas an:
1.       Sa’id bin Salamah dan al-mughiroh bin Abi Burdah adalah perawi majhul atau tidak dikenal.
Imam al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubro (1/2) berkata: Abu ABdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’I berkata: Zhahir al-Qur`an (makna yang langsung terfahami) menunjukkan semua air suci baik air laut atau yang lainnya. Telah diriwayatkan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam satu hadits yang sesuai dengan zhahir al-Qur`an ini dan pada sanadnya ada yang saya tidak mengenalnya. Kemudian beliau sampaikan hadits Abu Hurairoh ini.

Alas an ini dijawab:
a.       Kemajhulan Sa’id bin Salamah.
Sa’id bin Salamah memiliki murid yang meriwayatkan dari beliau hadits Shofwaan bin Sulaim dan al-Jallaah Abu Katsir. Imam an-Nasa’I menyatakan: seorang perawi tsiqah (Lihat tahdzib al-Kamaal 10/480) dan ibnu Hibaan memasukkannya kedalam kitab ats-tsiqah (6/364). Sehingga hilanglah kemajhulannya.
b.       Kemajhulan al-Mughirah bin ABi Burdah
Al-Mughiroh bin Abi Burdah memiliki beberapa murid yang meriwayatkan hadits darinya, seperti Sa’id bin Salamah, Yahya bin Sa’id al-Anshari dan Yazid bin Muhammad al-Qurasyi. Demikian juga al-Aajuri menyampaikan pernyataan Abu Dawud tentang al-Mughiroh: Ma’ruf (sudah terkenal). Sedangkan an-nasa’I menyatakan : perawi tsiqah (Tahdzib al-Kamaal 10/229) dan ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab ats-Tsiqah (5/410).
Oleh karena itu, al-Haafizh ibnu Mandah sebagaimana dinukil oleh ibnu Daqiq al-Id dalam al-Imaam (1/99). Sepakatnya Shofwaan dan al-Jallah termasuk yang menunjukkan kemasyhuran Sa’id bin Salamah dan sepakatnya Yahya bin Sa’id dan Sa’id bin Salamah tentang al-mughiroh bin ABi Burdah termasuk yang menunjukkan kemasyhuran al-Mughirah, sehingga sanadnya ini masyhur.
Ibnu daqiq al-Id menambahkan dalam kitab al-Ilmaan (1/181) : Hilangnya kemajhulan dari Sa’id dengan riwayat dua orang darinya dan dari al-mughiroh dengan riwayat tiga orang. Hal ini mencukupkan bagi orang yang tidak memandang harus dalam mengenal keadaan kredibel perawi setelah hilangnya kemajhulan. Walaupun ulama-ulama yang menshahihkan hadits ini telah mengetahui sisi rinciannya, sehingga tidak ada masalah. Kalaupun tidak demikian, maka tidak jauh sandaran mereka kepada kehati-hatian imam Maalik dan pemilahan para perawi serta ketelitian beliau dalam memilih para guru atau hanya mencukupkan dengan kemasyhurannya. Wallahi a’lam argument pendapat mereka.
Kemudian ibnu al-Mulaqqin menandaskan: Sudah jelas tsiqahnya Sa’id bin Salamah dan al-Mughiroh bin Abi Burdah secara jelas. Karena imam Abu Abdirrahman an-Nasaa’I menghukumi keduanya dengan tsiqah, sebagaimana dinukil Jamaluddin al-Mizzi dalam tahdzibnya. Demikian juga Abu hayyan ibnu Hibaan menyebut keduanya dalam kitab ats-Tsiqaat dan al-Ajurri meriwayatkan dari Abub Dawud bahwa beliau berkata: Al-Mughirah bin ABi Burdah ma’ruf (dikenal). Ibnu yunus telah menjelaskan jelasnya keadaan keduanya. Sehingga dengan ini, hilanglah sifat Majhul haal (ketidak jelasan kredibilitas) dari keduanya dan dengan penjelasan yang lalu, hilang jahalah ‘ain (ketidak jelasan adanya). Ditambah lagi dengan penshahihan para imam besar terdahulu, at-Tirmidzi, al-bukhori, ibnu al-Mundzir, ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibaan, al-baihaqi, ibnu Mandah, al-Baghawi dan lain-lainnya. Al-Haakim Abu ABdillah berkata dalam al-Mustadrak: Seperti hadits ini yang diriwayatkan imam Malik dalam awal kitab al-Muwatha’ dan para ahli fikih Islam menggunakannya hingga zaman kita ini tidaklah menjadikan hadits ini tertolak dengan sebab ketidak jelasan kedua perawi ini. (al-badrul Munir 3/354-355).

2.       Adanya perbedaan pendapat tentang nama Sa’id bin salamah. Ada yang menyatakan namanya Sa’id bin Salamah. Ada yang menyatakan: Abdullah bin Sa’id dan ada yang menyatakan namanya Salamah bin Sa’id.
Alas an ini dijawab:
Yang shahih nama beliau adalah Sa’id bin Salamah, karena inilah yang ada di riwayat imam Maalik dan riwayat imam Maalik rojih karena kepakaran beliau dan juga karena sesuai dengan banyak perawi lain yang meriwayatkan hadits ini. Sedangkan dua nama lainnya adalah dari riwayat Muhammad bin Ishaaq yang marjuh (lemah) karena menyelisihi riwayat imam Maalik tersebut.

3.       Hadits ini mursal dan terputus. Imam ath-Thahawi dalam Musykilil Atsar (10/203) berkata setelah menyampaikan riwayat Yahya bin Sa’id dari al-Mughirah bin Abdillah dari bapaknya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata: Al-Mughirah bin Abdillah yang disebutkan dalam hadits Hammaad dari Yahya adalah al-Mughiroh bin Abi Burdah dan Yahya telah mengembalikannya kepada bapaknya. Sedangkan Sa’id bin Salamah mengembalikannya kepada Abu Hurairoh. Riwayat Yahya yang menunjukkan terputus dan disandarkan kepada orang yang tidak jelas dan Sa’id menyandarkannya kepada Abu Hurairoh. Sa’id dan Yahya bila berselisih maka Yahya yang benar karena hafalan dan kredibilitasnya juga karena kekurangan dan terbelakangnya Sa’id darinya.

Alas an ini dijawab:
Pernyataan mendahulukan riwayat Yahya atas Sa’id dalam hadits ini adalah lemah, karena adanya perselisihan yang banyak pada Yahya bin Sa’id yang membuat riwayatnya jatuh. (lihat kitab al-Ilal karya ad-Daraquthni (9/11-13)
Oleh karena itu imam ad-Daraquthni dan al-baihaqi merojihkan riwayat Maalik dari Shofwaan dari Sa’id bin Salamah atas riwayat Yahya bin Sa’id.
Ad-Daraquthni setelah menjelaskan perbedaan dalam riwayat Yahya bin Sa’id berkata: Riwayat yang benar adalah riwayat Maalik dan yang mengikutinya dari Shofwan bin sulaim. (9/13).
Sedangkan al-Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan (1/231) setelah memaparkan pernedaan atas riwayat yahya bin Sa’id berkata: perbedaan ini menunjukkan Yahya tidak menghafalnya dengan semestinya. Imam Maalik bin Anas telah meluruskan sanadnya dari Shofwaan bin Sulaim. Beliau dikuatkan dengan ikutnya al-Laits bin Sa’ad meriwayatkan hadits ini dari Yazid dari al-Jalaah Abu katsir. Kemudian juga Amru bin al-Haarits dari al-Jalaah yang kedua riwayat ini dari Sa’id bin Salamah dari al-Mughiroh bin ABi Burdah dari Abu Hurairoh. Sehingga dengan ini, haditsnya shahih, sebagaimana pendapat al-Bukhari dalam riwayat Abu Isa dari beliau.
Ibnu Abdilbarr telah melemahkan sanad hadits ini dan merojihkan kemursalannya. Namun beliau menshahihkan isi hadits (matan) dari sisi amalan.
Ibnu Abdilbarr dalam at-Tamhied 16/218-219: Hadits ini menurutku shahih, karena para ulama telah menerima hadits ini dan beramal dengannya. Tidak ada seorang ahli fikih pun yang menyelisihinya secara umum.

4.       Hadits ini ada keguncangannya (idhthiroob). Orang yang menghukumi hadits ini sebagai hadits mudh-tharib memandang kepada riwayat para perawi dari Yahya bin Sa’id dan Muhammad bin Ishaaq dan memang hadits riwayat keduanya adalah lemah dengan sebab banyaknya pernedaan disana. (lihat Nashbur Raayah 1/97 dan “Ilal ad-Daraquthni 9/11-13). Sehingga imam ibnu Abdilhadi dalam Tanqihut Tahqiiq (1/20) menyatakan: Hadits ini diperselisihkan dalam sanadnya.

Alas an ini dijawab:
Ini hanya melemahkan riwayat Yahya dan Muhammad bin Ishaq saja dan tidak mempengaruhi riwayat Maalik dan para perawi lain dari Shofwan. Wallahu A’lam

Semua alas an yang melemahkan hadits ini terjawab dan tidak bisa diterima. Apalagi hadits di atas pun telah mempunyai beberapa jalan (thuruq) dan juga mempunyai syawaahiddari sejumlah para sahabat, diantaranya: Jabir bin Abdillah, Al Firaasiy, Ibnu Abbas, Abdullah bin ‘Amru, Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar.

Penjelasan singkat tentang Syahid (penguat hadits dari sahabat yang berbeda).
Ada beberapa syahid pada hadits Abu Hurairoh dari sejumlah sahabat, diantaranya:
Syahid pertama: Hadits Jaabir bin Abdillah yang berbunyi:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي الْبَحْرِ: " هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ "
Dari jabir bin Abdillah dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda tentang laut: Suci airnya dan halal bangkainya.
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam al-Musnad 3/373 dan al-Ilal no. 780. Dari jalur riwayat Ahmad dikeluarkan oleh ibnu Maajah dalam sunannya no. 388, ibnu al-Jaarud dalam al-Muntaqa no. 879, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya no. 112, ibnu Hibaan dalam Shahihnya no. 1244, ad-Daraquthni dalam sunannya 1/34 dan al-baihaqi dalam sunan al-Kubra 1/251-252 dari jalan Abul Qaasim bin Abi az-Zinaad dari Ishaaq bin Haazim dari Abi Miqsam Ubaidillah bin Miqsam dari Jabir bin Abdillah secara marfu’.
Sanad hadits ini hasan, karena adanya Ishaaq bin Haazim seorang perowi yang dikatakan al-Haafizh ibnu Hajar dalam at-Taqrib no. 348 : Shaduq (perawi hadits hasan) dicela dalam masalah Qadar.

Syahid kedua: Hadits ibnu Abbas yang panjang diantaranya berbunyi:
وَسَأَلَهُ عَنْ مَاءِ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ: «مَاءُ الْبَحْرِ طَهُورٌ»
Dan bertanya kepadanya tentang air laut, beliau menjawab: air laut suci mensucikan.
Hadits ini dikeluarkan imam Ahmad dalam Musnadnya 1/279 dari jalan Affan dari Hammad bin Salamah dari Abu at-Tayyah dari Musa bin Salamah dari ibnu Abbas.
Sanad hadits ini shahih mauquf pada ibnu Abbas. Hadits ini juga dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jaami’ no. 5499.

Syahid ketiga: hadits al-Firaas yang berbunyi:
عَنِ ابْنِ الْفِرَاسِيِّ، قَالَ: كُنْتُ أَصِيدُ، وَكَانَتْ لِي قِرْبَةٌ أَجْعَلُ فِيهَا مَاءً، وَإِنِّي تَوَضَّأْتُ بِمَاءِ الْبَحْرِ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ»

Dari ibnu al-Firaasi beliau berkata: Aku berburu ikan dan aku membawa satu kantung air yang aku isi air. Aku berwudhu dengan air laut. Lalu aku sampaikan hal itu kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau menjawab: Dia suci airnya dan halal bangkainya.
Hadits ini dikeluarkan imam Ibnu Maajah dalam sunannya no. 387 dari jalan Yahya bin Bukair dari al-Laits bin Sa’ad dari Ja’far bin rabie’ah dari bakr bin Sawaadah dari Muslim bin Makhsyi dari ibnu al-Firaasi.
Hadits ini memiliki dua alasan kelemahannya:
a.       Muslim bin Makhsyi al-Mudliji tidak ada yang memberikan rekomendasi (tsiqah) keculi Ibnu Hibaan seperti dalam at-Tsiqaat 5/398 dan ibnu Hajar nyatakan dalam at-Taqrib (no. 6646): Maqbul (diterima bila ada yang menguatkannya dari jalan lain).
b.       Hadits ini mursal karena Ibnu al-Firaasi seorang tabi’in dan beliau tidak menyebutkan perantara antaranya dengan rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Imam at-Tirmidzi dalam al-‘Ilal al-Kabir 1/137 berkata: Aku bertanya kepada Muhammad (al-Bukhori) tentang hadits ibnu al-Firaasi tentang air laut. Beliau menjawab: Itu hadits mursal. Ibnu al-Firaasi tidak menjumpai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan al-firaasi sendiri adalah sahabat Nabi. Sedangkan penulis kitab Mishbaah az-Zujaaj 1/57 berkata: Ini sanad para perawinya tsiqat semua kecuali Muslim yang tidak mendengar dari al-Fitaasi, Muslim ini hanya mendengar dari ibnu al-Firasi yang bukan sahabat. Tampaknya beliau meriwayatkan dari bapaknya tapi tidak disebut dari jalan ini.
Oleh karenanya, ibnu al-Qathan dalam kitab bayaan al-Wahm wal Ihaam 2/440 menyatakan: Muslim bin makhsyi hanyalah mendengar dari anaknya (ibnu al-Firaasi) dan riwayat Muslim dari bapaknya (al-Firaasi) adalah terputus (mursal).
Dengan dua alasan ini sanad hadits ini lemah, namun dikuatkan dengan hadits shahih dari Abu Hurairoh dan hadits Hasan dari Jaabir bin Abdillah yang telah lalu. Oleh karenanya, Syeikh al-Albani menghukumi hadits ini dengan Shahih lighairihi, seperti disampaikan dalam shahih sunan ibnu Maajah.

Syahid keempat: Hadits Anas bin Maalik yang berbunyi:
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ أَبَانَ، عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الْبَحْرُ طَهُورٌ مَاؤُهُ وَحَلَالٌ مَيْتَتُهُ».
Dari ats-Tsauri dari Abaan dari Anas dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
Hadits ini lemah sekali karena adanya Abaan bin Abi Iyaasy seorang yang matruk.

Syahid kelima: hadits Ali bin Abi Thalib yang berbunyi:
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ:  «هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ»
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang air laut, beliau menjawab; Dia suci airnya dan halal bangkainya.
Hadits ini dikeluarkan imam ad-Daraquthni dalam sunannya 1/35 dari jalam Muhammad bin al-Husein dari bapaknya dari bapaknya dari kakeknya dari Ali bin Abi Thalib, beliau berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang air laut, beliau menjawab; Dia suci airnya dan halal bangkainya.
Demikian juga al-Haakim dalam al-Mustadraknya 1/142-143 dari jalan Ahmad bin al-Husein dari bapaknya dari bapaknya lagi dari kakeknya dari Ali bin Abi Thalib
Al-Haafizh ibnu Hajat dalam Talkhish al-Habir 1/12 berkata: Ad-Daraquthni dan al-Haakim mengeluarkan hadits ini dari hadits Ali bin Abi Thalib dari jalur ahlil bait dan pada sanadnya ada yang tidak dikenal.
Sanad hadits ini lemah, namun bisa menjadi kuat dengan riwayat sebelumnya.

Syahid keenam: Hadits Abdullah bin Amru yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:  «مَيْتَةُ الْبَحْرِ حَلَالٌ وَمَاؤُهُ طَهُورٌ»
Sungguh rasululah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Bangkai laut halal dan airnya suci mensucikan.
Hadits ini dikeluarkan oelh ad-Daraquthni dalam sunannya 1/35 dan al-Haakim dalam al-Mustadrok 1/143 dari jalan al-Mutsanna bin ash-Shabaah dari Amru bin Syua’ib dari bapaknya dari kakeknya Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda....
Sanad hadits ini lemah karena adanya al-Mutsanna seorang perawi dha’if.

Kesimpulannya: Hadits ini hadits shahih.
Syeikh Abdullah bin Abdurrahman alibasaam berkata: Hadits ini dishahihkan oleh para ulama diantaranya: al-Bukhori, al-Haakim, ibnu Hibaan, ibnu Mundzir, ath-Thahawi, al-baghawi, al-Khathabi, ibnu Khuzaimah, ad-Daraquthni, ibnu Hazm, ibnu Taimiyah, ibnu Daqiqil Ied, ibnu Katsier, ibnu Hajar dan lainnya sampai lebih dari 36 imam. (taudhih al-Ahkaam, 1/115).

Apa itu Hadits Shahih.
Hadits yang shohih adalah hadits yang bersambung sanadnya dari awal hingga akhir baik itu Nabi atau sahabat atau yang dibawahnya dengan syarat para perawinya adil dan memiliki kesempurnaan Dhabth tanpa adanya syadz dan ilat yang merusaknya.
Inilah definisi hadits shohih lidzatihi yang sudah disepakati para ulama hadits.
Dari definisi ini dapat dijelaskan bahwa keluar dari definisi ini :
-          Shohih lighoirihi karena ia butuh penguat dari jalan lain (Mutaabi’) atau  penguat dari hadits lainnya (syaahid) yang manguatkanya dan menjadikannya shohih.
-          Hadits-hadits yang tidak bersambung sanadnya, seperti munqathi’, mu’dhal, mursal, dan mu’allaq
-          Hadits-hadits yang ada perawinya yang tidak adil, seperti matruk, maudhu’ dan mungkar –versi penulis manzhumah-.
-          Hadits-hadits yang ada perawinya yang tidak sempurna Dhabthnya atau dicela karena kelemahan dalam hal ini, sepeti hadits hasan dan hadits dha’if
-          Hadits-hadits yang menyelisihi yang lebih kuat dan rojih darinya, seperti hadits Syaadz dan hadits mungkar –versi mayorita ulama hadits dan dirojihkan ibnu Hajar.
-          Hadits-hadits yang ada illat yang merusaknya, seperti hadits muallal dan mudallas apabila pelaku tadlisnya tidak menyampaikan kejelasan mendengarnya dengan lafazh jelas.
Syarat hadits Shohih.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits yang shohih memiliki 5 Syarat.
a.       Sanadnya bersambung. Maksudnya setiap perawi mendengar langsung dari gurunya.
b.       Al-‘Adalah (adil). Maksudnya disini para perawi memiliki kemampuan yang membuatnya dapat konsisten dalam ketakwaan dan menjauhi kefasikan dan perusak muru’ah (harga diri dan kehormatannya). Hal ini dapat dijabarkan dengan muslim, baligh dan berakal yang tidak melakukan perbuatan dosa besar dan tidak terus menerus berbuat dosa kecil serta tidak berbuat perbuatan yang merusak muru’ahnya.
c.        Kesempurnaan Adh-Dhabth. Pengertiannya adalah kekuatan hafalan dan penjagaannya. Para ulama membagi sifat adh-Dhabth menjadi dua:
·         Ad –Dhabt ash-Shadr yaitu kemampuan untuk menyampaikan hafalannya kapan saja dan dimana saja.
·         Ad –Dhabt al-Kitaabah yaitu kemampuan untuk menjaga kitab dan tulisannya sejak mendengarnya hingga menyampaikannya.
d.       Tidak ada syadznya.
e.        Tidak ada illat yang merusaknya.
Contoh hadits shohih.
Contohnya adalah hadits yang berbunyi:
قَالَ الْبُخَارِيُّ : حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ الأَنْصَارِيْ قَالَ أَخْبَرَنِيْ مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ التَّيْمِيْ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيْ يَقُوْلُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ :( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ )

Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mengetahui hadits shohih setelah mendapatkan sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
  1. Mengenal kedudukan dan pendapat para ulama tentang perawi yang ada dalam sanad satu persatu. Dalam hadits ini terdapat nama-nama perawi sebagi berikut:
  1. Abu Bakar Abdullah bin az-Zubeir bin ‘Isaa al-Humaidi. Nasab beliau bertemu dengan Khodijah ummul mukminin pada Asad dan dengan Nabi pada Qushai. Seorang imam besar yang menemani Syafi’I dalam mencari ilmu dari Ibnu ‘Uyainah dan mengambil fikih dari beliau. Beliau seorang tsiqah hafizh dan faqih serta termasuk murid besar ibnu ‘Uyainah.  Beliau menemani imam asy-Syafi’I hingga ke Mesir dan baru pulang ke Makkah setelah asy-Syafi’I  wafat hingga meninggal tahun 219 H.
  2. Abu Muhammad Sufyan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imron al-Hilali al-Kufi kemudian al-Makki. Beliau kelahiran kufah dan menetap di Makkah. Beliau mendengar lebih dari 70 tabi’in. ibnu Hajar menyatakan: beliau seorang Tsiqat hafizh faqih imam hujjah namun berubah hafaمannya diakhir hayatnya dan melakukan tadlis namun hanya dari para perawi yang tsiqah. Beliau adalah orang yang paling bagus hafalannya dalam hadits Amru bin Dinaar. Beliau termasuk murid dari Yahya bin Saa’id al-Anshori. Meninggal pada bulan rajab tahun 178 H dalam usia 71 tahun
  3. Abu Sa’id Yahya bin Sa’id bin Qais bin ‘Amru al-Anshori al-Madani al-Qaadhi seorang tsiqah tsabat dan meninggal tahun 144 H
  4. Abu Abdillah Muhammad bin Ibrohim bin al-Haarits bin Kholid at-Taimi al-Madani seorang tsiqah meninggal tahun 120 H.
  5. ‘Alqamah bin Waqqaash al-Laitsi al-Madani seorang tsiqah tsabat dan meninggal pada masa kekhilafahan Abdulmalik bin Marwan.
  6. Umar bin al-Khothob al-‘Adawi sahabat nabi dan kholifah rasyid yang kedua.
  1. Mengenal bersambung atau tidaknya sanad hadits yang sedang dicari hukumnya, dengan cara melihat kepada lafazh simaa’ nya. Didapatkan semua perawi menyampaikan dengan lafazh yang jelas gamblang mendengar dari perawi diatasnya, sehingga dapat dipastikan mereka mendengar langsung dari perawi diatasnya.
  2. Mengumpulkan jalan periwayatan hadits yang ada baik dalam riwayat lainnya atau hadits dari sahabat lainnya untuk diketahui apakah ada yang menyelisihinya atau ada illah (penyakit) yang merusak kebasahan hadits tersebut.
  3. Kemudian baru dapat menghukum hadits tersebut termasuk shohih atau tidak.
Ternyata bila kita terapkan syarat-syarat hadits shohih didapatkan semuanya ada pada hadits ini. Sehingga dihukumi sebagai hadits shohih.

Penjelasan Kosa kata Hadits

 (هو الطَّهور ماؤه). Kata الطَّهور dalam bahasa arab adalah shighat mubalaghah bermakna suci dan mensucikan. Dibaca dengan difathahkan huruf tha’nya bermakna sesuatu yang dipakai untuk bersuci. Kata ganti   هو kembali kepada laut. Sehingga (هو) dalam bahasa arab kedudukannya adalah Mubtada’ dan(الطهور)   adalah mubtada’ kedua, sedangkan kata (ماؤه) adalah khobar atau faa`il untuk kata (الطهور) , karena dia adalah shighah mubalaghah.  Jumlah susunan mubtada’ kedua dan khobarnya menjadi khobar bagi mubtada` pertama. Susunan ini dalam bahasa arab berisi pembatasan sifat kepada maushuf (yang dishifati). Berarti maknanya membatasi kesucian hanya pada air laut. Pembatasan ini tidak hakiki, karena kesucian ada pada selain air laut juga. Maka ia sebenarnya adalah pembatasan tertentu (qashru Ta’yiin); karena penanya bimbang antara kebolehan berwudhu dan tidak, sehingga Rasulullah menentukan kebolehannya.
(الحِلُّ ميتته) demikian tanpa adanya huruf sambung wawu. Kata(الحل)  dengan dikasrohkan huruf ha’nya, dalam bahasa arab adalah mashdar dari  حلَّ يَحِلُّ yang menjadi anonim kata haram. Sedangkan kata (ميتته)  dengan difathahkan huruf mimnya adalah semua hewan laut yang mati tanpa sembelihan syar’i seperti ikan
Penanya yang ada dalam hadits ini dijelaskan dalam beberapa riwayat, seperti riwayat imam ad-Daraquthni sesuai dengan penjelasan al-Haafizh ibnu Hajar dalam talkhish al-habir 1/12 bernama Abdullah al-Mudliji dan disampaikan ath-Thabrani pada bagian orang-orang yang namanya Abdu. Sedang Ibnu Basykuwaal dalam kitab al-Ghawaamidh 2/564  dengan sanadnya dan menamakannya Abdah al-‘Araki. Ada yang memberi nama Ubaid. Sebenarnya namanya adalah Abdullah atau Abdu atau Abdah dan kunyahnya Abbu Zam’ah al-balawi, seperti dijelaskan Abu Musa al-Madini dalam kitab Ma’rifatush Shahabah (lihat at-talkhish 1/12 dan juga al-Ishaabah fi tamyiz ash-Shahabah ibnu Hajar 2/433). Beliau seorang nelayan sehingga dijuluki al-‘Araki. Wallahu a’lam.

Pengertian Umum Hadits.
Hadits yang mulia ini merupakan jawaban atas pertanyaan seperti dijelaskan dalam riwayat imam Maalik bahwa Abu Hurairoh berkata: سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (Seorang telah bertanya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam) dengan pertanyaan: Wahai Rasulullah, kami akan berlayar di lautan dan kami hanya membawa sedikit air, maka kalau kami berwudlu dengan mempergunakan air tersebut pasti kami akan kehausan, oleh karena itu bolehkah kami berwudlu dengan air laut? Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Laut itu suci airnya, (dan) halal bangkainya.”. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa air laut suci mensucikan dan bangkainya halal sehingga tidak butuh menyembelih hewan-hewan laut atau air.

Pelajaran yang dapat diambil dari Hadits:

1.             Kedudukan hadits ini disampaikan imam Syafi’i dengan ungkapan: Hadits ini separuh ilmu thaharah. (dinukil al-Hafizh dalam Talkhish al-Habir 1/24). Hal ini – Wallahu a’lam- karena thaharoh (bersuci) ada dua jenis; dengan air dan dengan debu. Hadits ini menjelaskan bersuci dengan air. Atau juga karena bersuci kadang didaratan dan kadang dilautan dan hadits ini menjelaskan bersuci dilautan.
Tidak diragukan lagi, hadits ini adalah hadits yang agung yang berisi kaedah dalam bersuci.
Juga ibnu al-Mulaqqin menyatakan: Hadits ini hadits yang agung dan salah satu pokok thaharah berisi banyak sekali hukum dan kaedah penting.
2.             Bertanya kepada ahli ilmu jika tidak mengetahui sesuatu masalah agama, sebagai bentuk mengamalkan perintah Allah di dalam Al Quran:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Betanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu.( QS an_nahl 43).
Syeikh Prof.DR. Shalih bin Abdillah alifauzan berkata: Hadits ini berisi kewajiban merujuk kepada ulama ketika ada masalah; karena sahabat tersebut ketika ada masalah pada bewudhu dengan air laut bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. ( 1/22)
3.             Semangat sahabat dalam mencari dan menerima ilmu dari Rasulullah. Hal ini nampak dari sebab adanya hadits ini berupa pertanyaan mereka kepada Rasulullah.
4.             Bertanya merupakan satu cara mendapatkan ilmu yang sangat penting.
5.             Diambil dari hadits satu cara bertanya yang menunjukkan kepandaian dan kecerdasan penanya sehingga menghasilkan faedah penting yang digunakan manusia hingga akhir zaman nanti. Cara tersebut adalah memulai pertanyaan dengan menyampaikan penjelasan keadaan yaitu mengarungi lautan dengan perahu dan hanya membawa air yang sedikit. Apabila digunakan untuk wudhu maka akan menimbulkan kehausan. Pertanyaan ini adalah pertanyaan kasus nyata yang real dialami. Kemudian menjelaskan semua yang berhubungan langsung dengan pertanyaan yang dikhawatirkan mempengaruhi hukum dengan menyatakan: Apakah boleh berwudhu dengan air laut?
6.             Bolehnya seorang menjawab pertanyaan melebihi dari yang ditanyakan, apabila penanya membutuhkannya. Sebab dalam hadits ini, orang yang naik perahu butuh mengenal hukum bangkai hewan laut. Disini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan fatwa ini karena mereka butuhkan dan mungkin juga selain mereka membutuhkannya. Oleh karena itu seorang mufti bila melihat kebutuhan penanya tentang sesuatu yang belum ditanyakan, maka disyariatkan untuk menambah melebihi pertanyaan. Apabila tidak maka jawaban hendaknya sesuai dengan pertanyaan saja. Oleh karena itu imam al-bukhori menulis dalam Shahih al-Bukhori: Bab Man Ajaaba as-Saaila Biaktsara mima Sa’alahu (Bab yang menjelaskan bolehnya orang menjawab penanya lebih banyak dari yang ditanyakan). (Shahih al-Bukhori 1/42).
Imam ibnu al-Qayyim dalam I’laam al-Muwaqqi’in (4/156-159) menyatakan: diperbolehkan mufti (orang yang berfatwa) untuk menjawab pertanyaan penanya melebihi dari pertanyaannya dan ini termasuk kesempurnaan nasehat, ilmu dan bimbingannya. Siapa yang mencelanya maka itu karena dangkalnya ilmu, sempit dada dan lemahnya sifat nasehat.
Syeikh al-Basaam menyatakan: Pentingnya menambah keterangan dalam fatwa atas satu pertanyaan. Hal itu apabila mufti menganggap penanya tidak mengerti hukum tersebut atau ia tertimpa masalah tersebut. Sebagaimana dalam bangkai hewan laut pada orang yang menyeberangi lautan. Ibnul Arabi menyatakan: Itu termasuk nilai-nilai posotif fatwa dengan menjawab melebihi pertanyaan untuk menyempurnakan faedahnya dan menyampaikan ilmu yang tidak ditanyakan. Ini akan sangat penting apabila nampak kebutuhan terhadap hukum tersebut. (taudhih al-Ahkaam 1/117).
Para ulama memberikan penjelasan mengapa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menambah jawaban melebihi yang ditanya, karena beberapa faedah diantaranya:
a.       Kebutuhan orang tersebut kepada bangkai hewan laut. Karena dia berlayar dilautan dan kadang butuh untuk makan hewan laut seperti ikan. Padahal umumnya hewan laut bila dibawa keperahu akan mati menjadi bangkai.
b.       Diperkirakan dengan hipotesa kuat bahwa penanya tidak tahu hukum bangkai hewan laut, karena kalau tidak tahu hukum kesucian air laut, maka lebih-lebih lagi hukum bangkai hewannya ditambah lagi kaedah yang sudah diketahui semua orang bahwa pada asalnya bangkai itu haram dimakan.
7.             Jawaban “Suci airnya” termasuk jawaami’ al-Kalim, sebab sangat mungkin Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan: “Ya” saja, namun beliau tidak menjawab dengan ringkas karena beberapa sebab:
a.       Agar tidak terfahami bahwa kebolehan berwudhu dengan air laut hanya dalam keadaan darurat saja, seperti keadaan yang diceritakan penanya.
b.       Agar tidak terfahami bolehnya berwudhu dengan air laut saja dan tidak boleh digunakan selainnya.
c.        Untuk menjelaskan hukum dengan sebab hukumnya yaitu kesucian air laut. Dengan demikian jelaslah bahwa semua air yang suci mensucikan (thahur) boleh digunakan untuk bersuci.
8.             Ilmu terlebih dahulu sebelum beramal.
9.             Hadits ini menunjukkan kedermawanan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam ilmu, sebagaimana beliau dermawan dalam harta, kedudukan dan jiwanya.
10.          Boleh berlayar mengarungi lautan untuk berdagang atau tujuan mubah meskipun bukan untuk berjihad.
11.          Membawa bekal ketika shafar menyalahi perbuatan kaum shufi.
12.          Kewajiban memelihara dan menjaga diri dari kebinasaan seperti kelaparan dan kehausan.
13.          Dari kaedah ushul: “Menolak kerusakan didahulukan dari mengambil manfaat.”
14.          Syari’at Islam itu sangat mudah bagi mereka yang faham dan ikhlas.
15.          Seseorang tidak dibebani kecuali semampunya.
16.          Bahwa syari’at Islam selalu memberikan jalan keluar bagi segala kesulitan.
17.          Air laut itu suci dan mensucikan. Syeikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menyatakan: Air laut suci mensucikan seluruhnya tanpa pengecualian. (fathuljalal walikram 1/60)
18.          Bangkai hewan atau binatang laut halal dimakan mencakup semua hewan yang hidup diair dan bukan hewan darat yang mati diair.
19.          Bangkai binatang laut itu halal dan suci, sebab dalam kaedah dikatakan: Semua yang halal itu suci dan tidak semua yang suci itu halal. Setiap najis itu haram dan tidak semua yang haram itu najis. (Fathuljalal walikram 1/60).
20.          Bolehnya berwudlu dengan air yang telah bercampur dengan sesuatu sehingga berubah rasanya, atau baunya atau warnanya selama tidak kemasukan najis, dan selama penamaannya tetap air, bukan yang telah berubah menjadi air teh atau kopi, dan lain-lain.
21.          Islam mengatur hidup dan kehidupan manusia, dunia mereka dan akhirat mereka.     
22.          Air laut suci mensucikan tidak keluar dari hukum ini sama sekali. Oleh karenanya diperbolehkan bersuci dengan air laut dari hadat kecil atau besar serta najis.
23.          Penjelasan hukum bangkai hewan laut yang tidak hidup kecuali diair.
24.          Pengertian hadits ini menunjukkan pengharaman bangkai hewan darat.
25.          Kewajiban merujuk kepada ulama ketika ada masalah, karena sahabat ini merujuk kepada Rasulullah ketika mendapatkan masalah dalam bersuci dengan air laut.
26.          Para sahabat tidak bersuci dengan air laut, karena asin bergaram dan baunya amis. Air yang demikian adanya tidak diminum sehingga para sahabat menganggap yang tidak diminum tidak bisa digunakan untuk bersuci. Rasulullah tidak menjawab hanya dengan kata “iya” ketika mereka bertanya: “apakah kami boleh berwudhu dengannya?”, agar kebolehan berwudhu dengannya itu terfahami tidak terikat dengan keadaan darurat semata bahkan utntuk semua keadaan. Juga agar tidak difahami kebolehan tersebut hanya untuk berwudhu semata, namun boleh untuk menghilangkan hadat besar dan mensucikan najis.

Masaail.
Air Laut Suci Mensucikan.
Terjadi perbedaan pendapat para ulama seputar hukum air laut dalam penggunaan air laut untuk berwudhu dalam dua pendapat.
a.       Air laut suci mensucikan dan boleh digunakan dalam bersuci baik mendapati air yang lain atau tidak mendapati. Inilah pendapat mayoritas ulama dari para sahabat, tabiin dan yang setelah mereka. Inilah pendapat Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Umar. Diriwayatkan juga dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Abdullah bin Amru. Inipun pendapat Atha’, Ibnu Sirin, al-Hasan, ‘Ikrimah, Thawus, Ibrohim an-Nakha’i, Sufyaan ats-Tsauri, al-Auza’i, Ahlu syam, Madinah, Kufah, Abu Ubaid dan Ishaaq (lihat Mushannaf ibnu Abi Syaibah 1/130, Sunan ad-Daraquthni 1/35-36, dan al-Ausath ibnu al-Mundzir 1/247 )
Ini adalah pendapat madzhab fikih yang empat (al-Madzaahib al-Arba’ah) (lihat kitab Bada’i’ ash-Shanaai’ 1/15, Ahkaam al-Qur`an ibnul Arabi 1/43, al-Majmu’ 1/136 dan al-Mughni 1/22-23). Juga pendapat ibnu Hazm (lihat al-Muhalla 1/210).
Diantara argumentasi pendapat ini adalah:
1.       Hadits Abu Hurairoh ini.
2.       Firman Allah Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَايُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS  al-Maaidah: 6).
Kata (مَآءً) dalam ayat bersifat umum maka mencakup semua air kecuali yang dikhususkan oleh dalil. Air laut termasuk dalam keumuman air tersebut.
3.       Firman Allah Ta’ala:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَادُمْتُمْ حُرُمًا وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (QS al-Maaidah: 96).
Apabila hewan laut halal bagi kita maka demikian juga airnya tentunya suci.
4.       Sebagian ulama mengklaim adanya ijma’ tentang air laut suci mensucikan, diantaranya Ibnu Juzaa dari ulama Madzhab Malikiyah dalam kitab al-Qawaanin al-Fiqhiyah hlm 44 menyatakan: Air muthlaq adalah yang masih ada pada asal penciptaannya, maka ia suci mensucikan secara ijma’ baik airnya tawar atau asin, baik dari laut, langit atau tanah.
Penukilan ijma’ seperti ini lemah dan tidak benar, sebab Ibnu al-mundzir dalam al-Ausaath 1/246 menyatakan: Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama yang aku hafal  dan aku temui bahwa orang yang bersuci dengan air sah kecuali air laut, karena ada perbedaan pendapat dan berita dari para ulama terdahulu.
Sedangkan ibnu Abdilbarr dalam at-Tamhid 16/221 menyatakan: Sepakat mayoritas ulama dan banyak sekali imam-imam fatwa di seluruh negeri dari kalangan ahli fikih bahwa air laut suci dan wudhu diperbolehkan dengannya kecuali yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bin al-Khathab dan Abdullah bin Amru bin al-‘Ash. Diriwayatkan keduanya memakruhkan berwudhu dengan air laut. Tidak ada seorangpun ahli fikih dunia tidak menyepakati hal tersebut dan tidak memandang dan melihatnya.
b.       Dimakruhkan menggunakan air laut dalam berwudhu. Ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar dan Abdulah bin Amru bin al-‘Ash, sebagaimana diisyaratkan ibnu Abdilbarr.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam al-Mushannaf 1/122 dan al-baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 4/334 dari Abdullah bin Amru, beliau berkata: Air laut tidak sah digunakan untuk berwudhu dan mandi junub; sungguh dibawah laut ada api, kemudian air kemudian api.
Yang rojih dan benar tentulah pendapat pertama karena adanya nash dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang kesucian air laut dalam hadits Abu Hurairoh diatas.

Kehalalan Bangkai Hewan Laut
Hewan laut atau air dibagi oleh para ulama menjadi dua:
1.       Hewan air yang hanya hidup didalam air dan bila keluar kedaratan maka akan mati seperti hewan yang disembelih. Contohnya ikan dan sejenisnya.
2.       Hewan air yang dapat hidup di daratan juga, dinamakan sebagian orang dengan al-Barma`i (yang hidup didua alam). Seperti buaya, kepiting dan sejenisnya.
Para ulama berbeda pendapat dalam hukum memakan hewan air dalam beberapa pendapat:
a.       Seluruh hewan laut halal. Inilah pendapat madzhab Malikiyah dan asy-Syafi’iyah. Mereka berdalil dengan keumuman firman Allah :
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ  
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (al-Maidah : 96)
Dan hadits Abu Hurairoh yang kita bahas ini. Ayat dan hadits ini bersifat umum pada semua hewan laut.
b.       Seluruh hewan laut atau air halal kecuali katak, buaya dan ular. Ini adalah pendapat madzhab Hambaliyah. Mereka berdalil dengan keumuman ayat dan hadits yang digunakan argument oleh pendapat pertama. Mengecualikan katak karena hewan yang dilarang membunuhnya dan mengecualikan buaya karena ia buas pemangsa dengan taringnya dan memangsa manusia. Sedangkan ular karena termasuk yang menjijikkan.
c.        Semua yang ada dalam laut diharamkan kecuali ikan. Ikan dihalalkan untuk dimakan kecuali yang sudah mati mengambang dipermukaan laut. Ini adalah pendapat madzhab Abu Hanifah. Mereka berdalil pada keumuman firman Allah :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ
diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. (QS al-Maaidah:3).
Dalam ayat ini, Allah tidak merinci antara hewan laut dengan darat, sehingga  berlaku umum. Juga firman Allah :
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (QS al-A’rof :157)
selain ikan semua hewan laut buruk (khabiets), seperti kepiting dan lain-lainnya.
d.       Dibolehkan memakan hewan laut selain ikan apabila yang serupa dengannya dari hewan darat halal dimakan. Misalnya babi laut diharamkan karena babi darat diharamkan, anjing laut haram karena anjing darat haram. Ini adalah satu diantara pendapat dalam madzhab syafi’iyah dan satu pendapat dari madzhab Hambaliyah. Dalilnya adalah qiyaas (analogi) hewan laut dengan hewan darat, karena kesamaan nama maka diberi hukum yang sama.
Pendapat yang rojih
Syeikh Prof. DR. Shalih bin Abdillah bin Fauzan alifauzan merojihkan pendapat madzhab malikiyah dengan dasar kuatnya dalil mereka dan tidak adanya dalil yang mengkhususkan keumuman dalil-dalil mereka. Kemudian syeikh membantah pendapat yang lainnya dengan menyatakan:
Dalil yang digunakan pendapat yang mengharamkan bangkai hewan laut berupa keumuman firman Allah :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
diharamkan bagimu (memakan) bangkai. (QS al-Maaidah:3). Maka jawabnya adalah ini umum yang sudah dikhususkan dengan sabda nabi tentang air laut : (هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ) .
sedangkan argumen mereka dengan keumuman firman Allah :
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (QS al-A’rof :157) dalam mengharamkan kepiting, ular dan sejenisnya dari hewan laut, maka tidak bisa diterima prihal ini semua adalah habiets (buruk/menjijikkan). Sekedar klaim ini termasuk yang menjijikkan tidak mengalahkan kegamblangan dalil-dalil (yang membolehkan). Sedangkan qiyaas (analogi) mereka semua yang ada dilaut dengan hewan darat yang dilarang, maka ini tidak sah karena menyelisihi nash syariat. (al-Ath’imah hlm 78-79)
Demikian juga syeikh Muhammad bin shalih al-Utsaimin merojihkan keumuman ini dalam pernyataan beliau:  yang benar adalah tidak dikecualikan satupun dari hal itu. Semua hewan laut (air) yang tidak hidup kecuali diair adalah halal baik yang hidup ataupun bangkainya, karena keumuman ayat yang telah kami sampaikan terdahulu. (Syarhulmumti’ 15/35)
Wallahu a’lam.


[1]  Lihat Syarhu al-Mumti’ 1/27

0/Post a Comment/Comments

Partner

Your Ads Here
73745675015091643
Your Ads Here
Your Ads Here

Translate